expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 28 November 2010

Merapi: Perlu Kejelasan Strategi Rencana BNPB

27 November 2010 


YOGYAKARTA, KEDAULATAN RAKYAT- Saat ini fokus pemerintah soal penanganan korban letusan Merapi memasuki tahap recovery dan masih dalam tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, pemerintah pusat perlu memberi batasan kewenangan yang jelas jika nantinya BNPB sudah habis ‘masa kerjanya’. Hal ini penting agar tidak terjadi putus koordinasi dengan pemerintah daerah.


Menurut pakar penanganan bencana, Eko Teguh Paripurno, mulai dari sekarang pemerintah setidaknya sudah membuat strategi rencana. Dengan begitu, saat terjadi pergantian penanganan dari pusat ke daerah bisa berjalan mulus dan tidak mendatangkan masalah baru bagi korban pengungsian. 

Menurutnya, keberadaan BNPB di saat penanganan korban erupsi Merapi pada awalnya memang belum familiar bagi masyarakat. Padahal badan ini cukup vital, apalagi untuk daerah-daerah rawan bencana karena mendapat mandat langsung dari presiden. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan agar BNPB bisa berdiri minimal di setiap provinsi. Namun pada kenyataannya, keberadaan BNPB belum merata di beberapa daerah. Di DIY sendiri, pendirian BNPB sedang dalam proses. 

”Pendirian BNPB di tiap-tiap provinsi di Indonesia sebaiknya berdasarkan skala prioritas daerah, dilihat dari peta rawan bencana. Harapannya, nanti bisa meminimalisir datangnya korban,” ujar Koordinator Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini pada KR, Kamis (25/11). 

Hal senada juga diutarakan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Yogyakarta Lincolin Arsyad yang mengatakan, koordinasi perlu dipertegas lagi. Menurutnya, jangan sampai ada kesan bahwa peran dari berbagai institusi dan LSM selama ini justru lebih aktif dalam membantu pemulihan korban bencana Merapi, ketimbang BNPB. 

Direktur Program MM UGM ini mengatakan, peran BNPB dalam beberapa tahun ke depan sangat penting. Karena itu, perlu diisi orang-orang yang memang memiliki kapasitas, lantaran berhubungan dengan masyarakat luas. ”Kita juga jangan malu belajar dari negeri luar seperti Jepang yang memang sudah terbukti bagus dalam hal penanganan bencana alam,” katanya. 


Rabu, 24 November 2010

Korban Merapi Kehilangan Mata Pencarian dan Kehabisan Biaya

24 November2010 

SLEMAN, KEDAULATAN RAKYAT- Warga korban erupsi Merapi berharap mendapatkan uang jatah hidup (jadup) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab, sejak terjadi bencana mereka kehilangan mata pencarian sehingga tidak mempunyai uang. Seorang warga Turgo Purwobinangun Pakem, Suwung (35) mengaku sangat membutuhkan uang bantuan tersebut. Sebab sejak bencana, ladangnya tidak bisa digarap lantaran masuk zona bahaya. ”Saat erupsi sebelumnya saya mendapatkan uang saku dari pemerintah, namun untuk erupsi tahun ini belum. Padahal kami sangat membutuhkannya untuk keperluan sehari-hari,” ujarnya. 

Hal senada diungkapkan seorang warga lainnya yang mengaku membutuhkan uang tersebut. Warga yang enggan disebutkan namanya ini, mengaku harus menjual ternak miliknya dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan hidup selama berada di pengungsian. 

Sebelumnya, Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu berjanji mengupayakan pengungsi mendapat jadup Rp3.000 perorang per hari di luar jatah makan. Meski demikian, ia berharap pemerintah pusat dan provinsi membantu merealisasikan jadup tersebut karena APBD Sleman terbatas. 

Terkait itu, Koordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), Juli Eko Nugroho, berharap pemerintah turun tangan. Meski tidak terkena secara langsung, namun banyak masyarakat yang saat ini mulai kehabisan logistik untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain bantuan di posko ada yang menumpuk dan hanya boleh diberikan pada pengungsi. ”Banyak masyarakat yang meski tidak mengungsi namun butuh sekali bantuan karena terdampak secara tidak langsung. Mereka seharusnya ikut dihitung sebagai masyarakat yang menerima bantuan,” katanya. 

Menurut Juli, persoalan tersebut harus segera direspons oleh pemerintah. Imbas dari erupsi Merapi memang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang pengungsi. Bahkan masyarakat yang tidak mengungsi juga merasakannya karena praktis kegiatan ekonomi mereka berhenti. 

”Di Muntilan banyak masyarakat yang tidak mengungsi namun saat ini kesulitan logistik karena praktis mereka tidak memiliki pendapatan selama erupsi Merapi. Begitu juga di Sleman, masyarakat yang memfasilitasi pengungsi mandiri saat ini juga kesulitan logistik,” ujar Juli. Saat ini menurut Juli, FPRB tengah melakukan survei dan menyebarkan sekitar 480 kuesioner kepada masyarakat korban gempa. Survei tersebut untuk mencari masukan dari masyarakat seputar lereng Merapi terkait proses recovery

Saat dikonfirmasi, Selasa (23/11), Bupati Sleman Drs H Sri Purnomo berharap kepada pemerintah pusat, jika memang ada program jadup untuk segera direalisasikan. Pasalnya, masyarakat korban Merapi saat ini sangat membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”Kami belum mendapat keterangan resmi maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat soal jadup. Tapi kalau program itu memang ada segera direalisasikan,” katanya. 

Diungkapkan, saat ini masyarakat di lereng Merapi banyak yang kehilangan mata pencaharian dan harta bendanya. Sehingga banyak masyarakat tidak bisa melakukan aktivitas. Untuk itu, jadup nanti harus tepat sasaran bagi masyarakat yang kehilangan harta benda dan lapangan kerja yang tertutup akibat erupsi Merapi.

”Ini segera perlu dipikirkan. Soalnya warga juga punya kebutuhan, seperti untuk membiayai sekolah anak dan lain-lain,” katanya. 

Bupati juga berharap, pemerintah memberikan modal kepada korban Merapi. Hal itu dimaksudkan mendorong atau memotivasi masyarakat untuk berusaha. ”Perlu ada spirit untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Soalnya kalau saat ini masyarakat mau usaha, mereka tidak punya modal,” katanya. (Tim KR)

Senin, 22 November 2010

MERAPI: MUNCUL AWAN PANAS, MASYARAKAT TETAP DIMINTA WASPADA

22 November 2010 

KEDAULATAN RAKYAT, YOGYAKARTA -Aktivitas Gunung Merapi dalam beberapa hari terakhir tergolong landai. Erupsi masih berlangsung dengan intensitas yang terus menurun. Namun status Merapi masih tetap Awas (level IV), karena berdasarkan monitoring sismik masih terekam gempa vulkanik, tremor beruntun maupun awan panas kendati energinya rendah. 

”Tremor dan gempa vulkanik menunjukkan pasokan magma terus terjadi. Hanya saja intensitasnya lebih rendah dibanding saat terjadi erupsi eksplosif beberapa waktu lalu. Adanya tekanan magma juga diindikasikan dengan masih munculnya kolom asap sulfatara meskipun tidak terlalu tinggi,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Dr Surono, Minggu (21/11). 

Berdasarkan pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, hingga Minggu pukul 18.00 terjadi gempa vulkanik sebanyak 6 kali, guguran 6 kali dan gempa tektonik sebanyak 3 kali. Kemarin muncul awan panas pada pukul 17.23 yang didahului gempa tektonik pukul 17.22. Awan panas mereda sekitar pukul 19.00. 

”Awan panas terjadi bersamaan dengan lahar hujan di Kali Senowo. Gempa tektonik belum berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas Merapi, bahkan dari pemantauan kegempaan angkanya relatif lebih rendah. Aktivitas Merapi sekarang relatif flat (landai),” kata Kepala BPPTK Yogyakarta, Drs Subandriyo MSi. 

Bahaya sekunder yang harus terus diwaspadai adalah lahar dingin, yang mengancam warga di bantaran sungai yang berhulu di puncak Merapi. ”Lahar dingin menjadi ancaman serius, apalagi sabo dam yang dibangun sudah penuh material Merapi dan pepohonan yang tumbang akibat diterjang awan panas,” ujar Subandriyo. 

Dari pengamatan visual kemarin, teramati asap putih keabuan bertekanan sedang setinggi 600 meter condong ke arah barat daya. Dari CCTV Deles dan Museum, pukul 00.14 terekam asap 800 meter condong ke barat daya. Selanjutnya pada pukul 04.36, asap putih 600 meter yang juga condong ke barat daya terekam dari CCTV Museum. 

Menurut Surono, indikator penurunan intensitas letusan juga ditunjukkan dengan sudah tidak terjadinya deformasi yang signifikan. Selain itu, kandungan gas pada material yang dikeluarkan dari puncak Merapi juga menunjukkan penurunan. Meski demikian, Surono mengingatkan agar tetap waspada, serta meminta masyarakat bersabar hingga erupsi Merapi benar-benar berhenti. 

”Ibarat pesawat sedang landing, penumpang harus tetap duduk dan tidak melepas seat belt sebelum pesawat benar-benar berhenti,” ujarnya.

(Tim KR)

Rabu, 17 November 2010

SERUNAI Siap Galang Dana di Bandung

Rabu, 17 November 2010

SERUNAI, Jakarta. Bandung? Akhir pekan? Wow... terbayang deh Distro, batagor, bejibun makanan lezat, dan jalan-jalan sambil cuci mata. Tapi nanti dulu, ini tak ada hubungannya dengan pelesiran. Yup, SERUNAI NUSANTARA justru akan mengikuti sebuah perhelatan besar dan sekaligus melakukan kegiatan penggalangan dana untuk membantu korban bencana Merapi-Mentawai di Bandung, Jawa Barat, pada akhir pekan ini. Event ini kemungkinan besar akan dihadiri lebih dari 5000 orang, terlalu sayang untuk dilewatkan.

Jadi, saat ini energi dan pikiran harus difokuskan,  persiapan wajib dimatangkan, waktu ekstra wajib diluangkan dan tenaga mutlak dikerahkan. Sebagai persiapan, kami, beberapa orang pengurus dan relawan segera menyingsingkan lengan baju untuk melahap sup panas, menyendok sambel, menyeruput es kelapa, dan mengunyah kerupuk sambil melakukan rapat saat istirahat makan siang di sebuah warung sederhana favorit di dekat kantor. Tepat sehari sebelum perayaan Idul Adha. 

Persiapan ke Bandung lebih pada urusan teknis. Jadi pembicaraan fokus ke bagaimana pembuatan banner, penyediaan info singkat tentang SERUNAI dalam bentuk flyer, komik kampanye donasi, penyiapan kupon sumbangan dengan nilai dari Rp5000-20.000, dan mengedarkan kotak sumbangan selama acara berlangsung. Ini adalah rapat penuh keringat (karena warungnya panas tanpa AC) dan penuh tawa (karena mendengar ide-ide konyol menyegarkan), tapi berlangsung santai dan penuh semangat. Terra Taihitu, yang mencatat notulen paling senang dengan acara ke Bandung, meskipun kegiatannya bakal melelahkan, “tapi gak apa  dong asal untuk kebaikan,” katanya riang, di tengah berisik suara kerupuk yang dikunyah beberapa rekan. 

Rapat berakhir dengan hasil menggembirakan, seabreg pekerjaan rumah dan berita mengejutkan. Ibu pemilik warung dengan senang hati ketempatan drop box sumbangan yang bisa diisi para pengunjung  warung. Tempat ini biasanya padat pada jam makan siang. Ini salah satu kontribusi yang luar biasa dan tentu saja mengharukan, terutama  bagi Mariski dan Dewi,  dua koordinator SERUNAI yang paling gampang terharu menyaksikan penderitaan orang lain. Bagusnya, keduanya tak puas hanya terharu, tapi juga melanjutkan dengan penggalangan aksi.  “It is a time not just for compassionate words, but compassionate action,” kata mereka. Kutipan  menyentuh ini sungguh menjadi pupuk pengobar semangat bagi kami.

Simpati dan Dukungan untuk SERUNAI
Jujur saja, kami tak menyangka  SERUNAI bakal sampai sejauh ini. Dari sekadar cetusan prihatin di situs microblogging Twitter, lalu berlanjut ke rencana aksi pada 1 November 2010, semuanya mengalir begitu saja. Lalu, jadilah nama SERUNAI NUSANTARA dipilih dari berbagai opsi melalui komunikasi intensif di Facebook. SERUNAI disepakati sebagai organisasi nonprofit yang semua penggiatnya bekerja sukarela sebagai relawan. Semua jadi lebih mudah, karena teknologi saat ini sangat memudahkan komunikasi para penggiat SERUNAI, yang umumnya masih bekerja di sejumlah lembaga bantuan  internasional dan kantornya berlainan.

Dukungan terhadap SERUNAI juga sangat mencengangkan. Antusiasme dan perhatian luar biasa terlihat dari sejumlah pertanyaan tentang SERUNAI. Beberapa kami pilih dan kutipkan di sini:  “Apa sih yang dilakukan para aktivis SERUNAI NUSANTARA? Apa saja aktivitas mereka? Bagaimana penggalangan dana dilakukan? Sejauh mana berkolaborasi dengan LSM lokal? Apakah sudah dilakukan pemetaan lokasi dan kebutuhan untuk target yang akan dibantu? Bolehkah bergabung sebagai relawan?”

Wow, sungguh kami takjub mendengar berderet pertanyaan antusias dari rekan-rekan seprofesi, baik di kantor masing-masing, maupun dari sekadar simpatisan yang menyatakan dukungannya via situs jejaring pertemanan Facebook. Saking takjubnya, kami sampai bingung menjawabnya. 

Ketika kami, para pengurus dan relawan melakukan rapat pertama kali pada awal November lalu, tak terbayang kalau simpati, harapan dan dukungan terhadap SERUNAI bakal mengalir begitu dahsyat. Sejak awal kami menyadari, bukan pekerjaan mudah menggalang bantuan bencana di sela-sela pekerjaan kantor yang begitu padat. Tapi simpati dan dukungan dari banyak rekan membuat kami bersemangat…malah sangat bersemangat. Beban pekerjaan kantor jelas tak sebanding dengan beban kesulitan hidup yang dialami oleh hampir setengah juta pengungsi bencana Merapi atau ribuan pengungsi akibat tsunami di Mentawai dan longsor di Wasior, Papua. Menggalang bantuan sambil bekerja jelas butuh taktik dan strategi khusus. Puji syukur kepada Tuhan, terbukti kami bisa melakukannya. 

Bencana demi bencana telah menyadarkan kita, bahwa negeri tercinta Indonesia memang rawan dengan beragam potensi bencana alam. Faktanya, Kegiatan yang dilakukan SERUNAI hanyalah setitik noktah dibanding kontribusi organisasi besar lain. Tapi sekecil apa pun ini adalah kontribusi kami sebagai anak bangsa yang punya kepedulian terhadap saudara setanah air yang sedang tertimpa kemalangan. Kami berbesar hati menyaksikan banyak sekali kelompok di luar pemerintahan yang membentuk organisasi bantuan dan langsung bergerak. Semakin banyak kelompok seperti ini tentu saja semakin baik. 

Bagi SERUNAI, Merapi-Mentawai adalah pengalaman luar biasa yang bisa dijadikan pelajaran untuk menghadapi potensi bencana alam berikutnya di tanah air. Maksudnya?  Dengan izin Tuhan, kami tak akan berhenti sampai di sini dan bertekad akan terus melanjutkan SERUNAI! Dukung terus dan doakan ya…

Selasa, 16 November 2010

Tsunami Mentawai: Titik Relokasi Terhadang Hutan Lindung, Pengungsi 7.830 orang

Selasa, 16 November 2010

PADANG, KOMPAS.com - Salah satu titik relokasi korban bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang berada di kilometer 27 Pulau Pagai Selatan terhadang status hutan lindung. Wakil Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim mengungkapkan hal tersebut di Auditorium Gubernuran Sumatera Barat, Senin (15/11/2010) malam pada saat pemaparan kondisi penanganan bencana tsunami Mentawai di hadapan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menko Kesra Agung Laksono.

"Lokasi berada dalam hutan lindung sehingga tidak direkomendasi. Perlu alih fungsi dari Menteri Kehutanan," kata Muslim.
Ia menambahkan, saat ini titik relokasi yang sudah ditetapkan di Pulau Pagai Utara berada di kilometer 4. Adapun di Pulau Pagai Selatan berada di kilometer 37 dan 46, serta di kilometer 27 yang terhadang status hutan lindung.

Menanggapi hal itu Agung Laksono mengatakan seluruh syarat untuk mengalihfungsikan kawasan hutan lindung perlu terlebih dahulu dipenuhi. Hal itu untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar di masa selanjutnya.

Ia menambahkan, khusus terhadap operasional dua perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yakni PT Minas Pagai Lumber dan PT Salaki Summa Sejahtera di Kepulauan Mentawai adalah persoalan berbeda. Namun terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Mentawai yang lebih 70 persen di antaranya masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Agung menyebutkan momentum bencana tsunami dan fakta masih beroperasinya perusahaan-perusahaan pemegang HPH sejak puluhan tahun lalu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

"Momen ini digunakan tidak saja membangun secara fisik, tetapi juga pembangunan nonfisik. Pemberdayaan masyarakatnya supaya mereka merasakan pembangunan dengan baik," kata Agung sembari menambahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana bakal mengucurkan dana hingga Rp 25 miliar untuk pembangunan 1.500 unit hunian sementara di Mentawai.  

Tim KLH Mulai Survei Mentawai
Sementara itu, tim dari Kementerian Lingkungan Hidup mulai melakukan pengambilan sampel di sejumlah titik di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.

Salah satunya adalah sampel kualitas air yang akan digunakan pengungsi di tempat relokasi pengungsi bencana tsunami. Pengambilan sampel mulai dilakukan Senin (15/11/2010) di Pulau Pagai Utara.

Menurut Ketua Tim Muslihudin, tim dibagi menjadi tiga kelompok kecil. Tim pertama mengambil sampel air di tempat relokasi, tim kedua menyurvei sejumlah variabel di Pasapuat, dan tim ketiga melihat kebiasaan pengelolaan sampah dan kearifan lokal pada masyarakat.

Dari posko di Kecamatan Sikakap, tim berangkat pagi ini menggunakan perjalanan darat. Survei akan dilakukan selama beberapa hari.

Hasil kajian, sebagaimana dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta beberapa waktu lalu, akan digunakan sebagai salah satu bahan penyusunan tata ruang dan program rehabilitasi di daerah bencana tsunami di Mentawai.

Di samping Pagai Utara, tim juga akan menyurvei sejumlah titik di Pulau Pagai Selatan.

13 Jenazah Kembali Ditemukan
Pascapencarian korban meninggal dihentikan, jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar, terus bertambah.

Koordinator Posko Tanggap Darurat BPBD Mentawai Paulinus Sabelep, mengatakan pada Jumat lalu (12/11), bahwa telah ditemukan 13 jenazah lagi, hingga korban meninggal menjadi 461 orang.

Ia menjelaskan, 13 jenazah yang sudah sulit dikenali itu ditemukan oleh warga di Dusun Eruk Pasaboat dan Dusun Puroarougat, Desa Malakopak Pagai Selatan.

"Ada 10 jenazah yang sudah ditemukan warga Dusun Eruk Pasaboat, dan tiga jenazah lagi ditemukan warga Puroaroagat," katanya, Jumat (12/11/2010).

Jenazah-jenazah tersebut sudah sulit dikenali sehingga langsung dimakamkan oleh warga setempat.

Menurut Paulinus, dengan ditemukannya 13 jenazah itu, maka hingga kini warga yang masih belum ditemukan sebanyak 43 orang.

Ia mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan identifikasi korban meninggal secara lengkap karena masih perlu adanya koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Sementara korban luka-luka yang masih dirawat di rumah sakit darurat dan Puskesmas Sikakap hanya tinggal 14 orang dengan keadaan luka berat.

"Di Puskesmas Sikakap masih ada 14 pasien luka berat, pasien dengan luka ringan tidak ada. Dan ada sebanyak 13 korban luka-luka telah kita rujuk ke rumah Sakit M Djamil Padang," katanya.

Selain itu, lanjut Paulinus, sebanyak 7.830 orang masih bertahan di tempat-tempat pengungsian.

Berikut data korban dari BPBD Mentawai:

Korban tewas: 461 orang
Korban hilang: 43 orang
Luka berat: 14 orang
Luka ringan: - orang
Pengungsi: 7.830 orang (1.074 KK)

Perumahan:
Rusak berat: 554 unit
Rusak ringan: 216 unit

Sekolah:
Rusak berat: 6 unit

Fasilitas umum:
Resort: 2 Unit (Resort Macaroni dan Katiet)
Rumah ibadah: 7 unit (rusak berat)
Jembatan: 7unit (rusak berat)
Jalan: 8 kilometer (rusak berat)

Kapal pesiar:
Rusak berat: 1 unit (terbakar)
Rusak ringan: 1 unit


Laporan wartawan KOMPAS Ingki Rinaldi, FX. Laksana Agung S

Senin, 15 November 2010

Merapi: Ekonomi Lumpuh, Sektor Pertanian Hancur

Senin, 15 November 2010


Yogyakarta, Kompas - Meletusnya Gunung Merapi melumpuhkan berbagai sektor, baik pariwisata, perhotelan, pertanian, peternakan, maupun perikanan. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Dampak ekonomi letusan Merapi di Jawa Tengah antara lain adalah lumpuhnya wisata Candi Borobudur. Kerugian riil belum terdata seluruhnya, tetapi yang lebih penting Borobudur, yang tertutup abu vulkanik cukup parah, perlu penanganan cepat.  Hancurnya bisnis hotel terparah terjadi di obyek wisata Kaliurang, Sleman, DIY. Ketua Asosiasi Perhotelan Kaliurang Christian Awuy menuturkan, ada 280 hotel dan 120 rumah makan di kawasan wisata Kaliurang tutup sejak 26 Oktober.

Pertanian
Letusan Merapi merusak sektor pertanian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kerugian diperkirakan Rp 247,3 miliar. Tanaman rusak terdiri dari padi, buah salak, dan sayuran.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Magelang Wijayanti mengatakan, kerusakan terjadi pada sebagian besar tanaman di 12 kecamatan karena tertutup abu vulkanik. ”Nilai kerugian terbesar terjadi pada tanaman salak, Rp 84,01 miliar. Nilai kerugian ini termasuk kerugian akibat ekspor salak yang tertunda karena 65 persen tanaman salak rusak dan gagal panen,” katanya.

Hal yang sama dialami Kabupaten Sleman. Salak pondoh yang telah mendunia porak poranda oleh abu vulkanik. Dari 2.000 hektar kebun salak, 1.400 hektar di antaranya rusak berat.
Setiap hektar ditanami sekitar 2.000 rumpun salak dan setiap rumpun menghasilkan 10 kilogram salak per tahun. Jika dihitung dengan harga termurah Rp 5.000 per kg, maka untuk 1.400 ha kerugian mencapai Rp 140 miliar. Demikian Riyadi Martoyo, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman.

Kerusakan juga terjadi pada 201 ha hutan rakyat, 309 ha hutan negara, dan 357 ha areal perkebunan. ”Erupsi Merapi menghabiskan tanaman seperti kopi, kelapa, lada, kakao, dan cengkeh, terutama di dusun-dusun di tepi Kali Gendol. Kami perkirakan kerugian sektor perkebunan mencapai 1,5-2 kali lipat dari yang kini terdata,” kata Mashudi, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman.

Peternakan
Dampak di Kabupaten Sleman, DIY, dan Kabupaten Boyolali serta Klaten, Jawa Tengah, sebagai penghasil susu perah juga memprihatinkan. Ada 1.548 sapi perah di Kabupaten Sleman yang mati. ”Dua koperasi susu, Usaha Peternakan dan Pemerahan (UPP) Kaliurang dan UPP Sarana Makmur sudah tiga minggu tutup. Uang yang hilang dari potensi penjualan susu sapi sekitar Rp 112 juta per hari,” kata Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman Suwandi Azis.

Di Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali, menurut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah Witono, 62.999 sapi perah, sapi potong, dan kerbau terancam produksinya. Banyak sapi potong yang kurus dan harga jualnya merosot sampai Rp 3 juta karena sulit mencari makanan ternak.

Di Kabupaten Magelang, menurut Tri Agung, Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Magelang, ada 125.706 ekor ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) terkena dampak letusan Merapi. Di sektor perikanan, luas kolam ikan yang terkena dampak 174,77 ha dan kolam mina padi 2.135,5 ha.

Kerugian perikanan di Kabupaten Sleman Rp 11,5 miliar. Kolam ikan milik rakyat yang menyebar di Kecamatan Ngemplak hampir seluruhnya terairi dari Kali Kuning yang berhulu di Gunung Merapi. Kecamatan Ngemplak dan Cangkringan adalah pemasok 80 persen kebutuhan benih ikan dan 60 persen ikan konsumsi di DI Yogyakarta. Karena itu, kebutuhan ikan di DIY terganggu.

”Namun, saya optimistis dalam satu-dua bulan setelah erupsi Merapi berakhir, masalah di bidang perikanan akan segera teratasi. Begitu belerang tidak ada lagi di Kali Kuning, kolam-kolam akan aman,” kata Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman Suparmono.

Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Sabtu, menyatakan, letusan Merapi yang berulang sejak 26 Oktober bukan letusan seperti biasa. Karena itu, dampaknya tidak terduga. Belajar dari peristiwa ini, penanganan dampak letusan Merapi untuk masa mendatang diharapkan tidak serba darurat seperti saat ini. Sultan memberi contoh, Kabupaten Sleman yang menerima dampak terparah harus berupaya lagi dari nol. 

(PRA/GAL/WIE/EGI/ILO/ENY/ WHO/ARA/MDN)


Minggu, 14 November 2010

Cari Korban, Tim SAR Sisir Dusun: Lahar Dingin Mengancam

Minggu, 14 November 2010 

SLEMAN, KOMPAS.com — Tim pencarian dan penyelamatan, Tentara Nasional Indonesia, polisi, dan relawan, Minggu (14/11/2010), akan melakukan penyisiran di kawasan dusun sekitar Kali Gendol, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mencari korban letusan awan panas Gunung Merapi.
    
Menurut keterangan dari Tim SAR Daerah Istimewa Yogyakarta, tim akan melakukan penyisiran di dusun-dusun di sekitar kawasan Kali Gendol untuk mencari korban yang kemungkinan masih berada di daerah tersebut.
    
Korban meninggal dunia dan luka bakar awan panas vulkanik gunung yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Jumat (5/11/2010) dini hari itu mayoritas berasal dari dusun dekat Kali Gendol.
   
Tim gabungan evakuasi dalam melakukan penyisiran menggunakan dua kendaraan Hugglands milik Palang Merah Indonesia (PMI) dan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
   
Korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibawa ke Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta pada Jumat hingga Sabtu (13/11/2010) pukul 21.30 WIB tercatat 168 orang.
   
Sebanyak 168 korban yang meninggal dunia itu terdiri atas 37 korban meninggal saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 131 korban meninggal pada erupsi pada 5 November 2010.

Sementara, harian Republika melaporkan bahwa hujan mengguyur puncak Gunung Merapi pada Ahad (14/11) pagi ini. Relawan dan warga diharapkan waspada terhadap terjadinya aliran lahar dingin yang akan mengaliri sungai-sungai berhulu di Merapi.

"Terjadi aliran diiringi material," ujar percakapan di HT dengan gelombang informasi soal Merapi.

Sungai-sungai berhulu di Merapi seperti Kali Gendol, Kali Boyong, Kali Kuning, Kali Krasak, Kali Code, dan Kali Apu. Petugas informasi Merapi pun mengingatkan agar para warga, relawan dan wartawan waspada terhadap aliran lahar dingin. Aliran lahar dingin itu, menurut petugas tersebut, ditandai dengan adanya bau belerang.

Sedangkan batas aman aliran lahar dingin tersebut, ujar sang petugas, ada di kisaran 500 meter. "Jarak aman masih di 500 meter. Harap waspada,"tuturnya. Petugas pun mengimbau agar warga yang berada di pinggir kali menggunakan masker.

Selain itu, menurut pantauan HT, terdapat kepulan asap vulkanik coklat dan putih yang membumbung ke arah vertikal. Sementara angin sendiri, bergerak ke timur laut dan cenderung ke barat merapi.

Sementara, kegiatan evakuasi warga yang diduga tewas akibat bencana masih dilakukan oleh TNI Angkatan Darat (Kopasus), tim Search and Rescue (SAR), PMI, Wanadri, dan relawan lainnya di Desa Ngempringan, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Tim kopasus dan PMI kembali menggunakan alat berat haglun untuk menerobos medan evakuasi. Sayangnya, pencarian yang dilakukan dari pukul 07.00 hingga pukul 10.00 WIB itu tidak menemukan satu pun korban yang diduga masih tertimbun abu vulkanik.

Salah satu warga Ngempringan, Slamet, mengatakan, masih terdapat tujuh orang tetangganya yang diduga hilang. "Ada tujuh. Pak Proyatmojo, Mbok Sisum Mitrowiyono, Dalini, Mbah Muh Haji Wiyono, Murtini, Mbok Si Pon, Parmi," tutur Slamet di lokasi. Menurutnya, tujuh orang tersebut tertinggal setelah letusan besar Merapi pada Kamis (4/11) lalu.

Sabtu, 13 November 2010

Indonesia Volcano Death Toll Rises to 240


November 13, 2010


JAKARTA GLOBE, Jakarta. Mount Merapi volcano in Central Java Province, Indonesia, has killed 240 people since it began erupting late last month, with more than 390,000 people in makeshift camps, an official said.

"The Merapi death toll has reached 240 people. And about 390,000 people have fled their homes," a disaster management official said on Saturday, updating the previous official toll of 206.

The official, who declined to be named, said the toll had risen after rescuers recovered more bodies in the central Java area where the volcano is located.

That figure continues to rise as people with severe burns die from their wounds and officials count those who have died from respiratory problems, heart attacks and other illnesses related to the blasts.

In addition, search operations continue for bodies buried under a thick layer of ash that shrouds whole villages. On Friday, soldiers pulled eight more bodies from around one hard-hit village, said Waluyo Rahardjo, who works for the search and rescue agency.

Evacuees Sign Waivers to Return Home
Despite being advised by volunteers not to do so, evacuees in Boyolali and Klaten, Central Java, left the evacuation shelters after Mount Merapi showed a decrease in activity.

About 600 evacuees left two shelters in Boyolali on Friday to return to their homes in the Selo and Cepogo subdistricts.

Volunteers at the shelters tried to persuade them to stay, but the evacuees were insistent. Those who wanted to leave were eventually made to sign a statement saying that they were leaving the shelters voluntarily.

“We will still monitor them and give them food aid because food is still scarce at the mountain slopes,” a volunteer told Metro TV.

Another shelter located in Tlogo village, Prambanan subdistrict, Klaten, was almost empty. Most of the 1,200 evacuees had returned to their homes, arguing that their cattle and fields were deserted. Officials at the shelter said that the evacuees could not be persuaded to stay so they had no choice but to let them leave.

In Bumiharjo village, farmers started working on their fields and feeding their cattle, convinced that Merapi would not erupt again.

Volcanic ash that has been emanating from Mount Merapi since its deadly eruption last week slowed on Friday, but experts warned that it remains dangerous.

However, the Volcano Investigation and Technology Development Institution (BPPTK) and Volcanology and Geological Disaster Mitigation Agency (PVMBG) have not yet lowered the volcano's status from the current standby or danger levels.

Officials warned residents that less ash did not mean that the volcano was already safe.

“The activity of Merapi is still high, but the intensity of eruptions is reduced now. People should still be careful. Merapi is still on high alert,'' said state volcanologist Surono.




Jumat, 12 November 2010

Bencana Merapi: Sebanyak 330 Pengungsi Alami Gangguan Psikologis


Kamis, 11 November 2010

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Sebanyak 330 pengungsi korban bencana Gunung Merapi yang ditampung di Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami gangguan psikologis.

"Hingga 10 November 2010 sebanyak 330 pengungsi mengalami gangguan psikologis, dan jumlahnya masih bisa bertambah, karena data terakhir masih dihitung," kata koordinator Bagian Psikologi Posko Pengungsi Maguwoharjo Retno Kumolohadi, di Sleman, Kamis.

Ia mengatakan dari jumlah tersebut, 132 pengungsi di antaranya mengalami kecemasan, psikosomatis 107 orang, psikosisresidual 39 orang, dan insomnia 50 orang.

"Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan data pada Selasa (9/11) lalu sebanyak 270 orang. Kemungkinan jumlah tersebut masih bertambah, karena tidak ada kepastian kapan pengungsi diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing," katanya.

Menurut dia, gangguan psikologis yang dialami mereka antara lain karena pengungsi merasa asing dengan lingkungan tempat penampungan pengungsi. "Mereka bahkan selalu mengkhawatirkan ternak, rumah, dan harta benda lain yang tidak dibawa ke pengungsian," katanya.

Retno yang juga pengajar di Pasca Sarjana Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengatakan para pengungsi memerlukan waktu untuk adaptasi dengan suasana di pengungsian.

"Ada beberapa laporan menyebutkan mereka terlihat sempat bersitegang dengan pengungsi lain. Hal tersebut juga dapat menjadi faktor pemicu stres," katanya.

Retno mengatakan semakin lama waktu yang dihabiskan di pengungsian, berbanding lurus dengan jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis.

Sementara itu, data per 9 November 2010 tercatat jumlah pengungsi sebanyak 94.615 orang yang menyebar hingga ke wilayah kabupaten/Kota tetangga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Di wilayah Sleman sendiri tercatat 80.155 orang, dan di luar wilayah Kabupaten Sleman tetapi masih di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta (DIY) sebanyak 14.460 rang," kata Komandan Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Sleman Widi Sutikno.

Menurut dia, dari ratusan titik lokasi pengungsi di Sleman terdapat empat titik pengelolaan pengungsi terbesar yakni Stadion Maguwoharjo dengan Ketua Pengelola Camat Pakem Budiharjo, Gedung Youth Center di Kecamatan Mlati dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Pemerintahan Desa Joko Supriyanto, GOR Sleman dengan Ketua Pengelola Kabag Administrasi dan Pengendalian Pembangunan Agung Armawanta serta Masjid Agung Sleman dan sekitarnya dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Jazim Sumirat.

"Di luar keempat tempat itu, semua camat di 14 kecamatan di luar tiga wilayah bencana yakni Turi, Pakem dan Cangkringan, menjadi ketua pengelola pengungsi di wilayah masing-masing," katanya.

Ia mengatakan para ketua pengelola tempat pengungsian tersebut bertanggung jawab atas pelaksanaan koordinasi dan pengendalian tempat pengungsi yang di dalamnya menyangkut sarana prasarana, kesehatan, relawan dan dapur umum.

"Pengungsi dari warga Sleman yang berada di luar wilayah kabupaten ini diketuai Dwi Supriyanto yang bertugas memantau pengungsi, tempat pengungsian, data pengungsi, serta kebutuhan logistik, sarana dan prasarana serta kesehatan pengungsi, dan mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan Pemerintah Provinsi DIY, pemerintah kabupaten/kota setempat, serta tempat pengungsian," katanya.

Merapi: Babak Baru, Tabiat Lama
Pada edisi Jumat (12/11), harian Kompas menulis panjang lebar tentang Merapi,  bahwa skala dan pola letusan eksplosif Gunung Merapi di Yogyakarta tahun ini meninggalkan kelaziman erupsi Merapi setidaknya selama 138 tahun terakhir.

Pola erupsi Merapi selama ini dikenal ”kalem”, tidak meledak-ledak, dengan pembentukan kubah lava yang longsor menjadi guguran ataupun luncuran awan panas skala kecil hingga menengah (terjauh 8 kilometer).
Semua terentak saat Gunung Merapi meletus dahsyat pada 26 Oktober 2010. Tiga dentuman hebat disertai gelombang luncuran awan panas bersuhu 600 derajat celsius berdurasi maksimal 33 menit meluncur sejauh 8 kilometer, meluluhlantakkan segala yang dilintasinya.

Kemudian ternyata rangkaian letusan lain susul-menyusul terjadi, yang memuncak (hingga saat ini) pada erupsi tiada henti sejak 3 November hingga 7 November. Guguran material dan awan panas terjadi tiada putus diselingi gemuruh yang terdengar hingga radius 30 kilometer.

Hujan pasir menjangkau radius 15 kilometer dan hujan abu merembet hingga Jawa Barat. Letusan pada 4 November bahkan menciptakan kolom asap setinggi 8 kilometer dari puncak. Rangkaian letusan menciptakan kawah berdiameter 400 meter di sisi selatan.

Jarak luncur awan panas terjauh selama periode lima hari erupsi itu tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta. Korban jiwa melonjak dari 36 orang pada letusan 26 Oktober menjadi 151 orang hingga Selasa (9/11).

Pada rangkaian erupsi itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dua kali menaikkan radius bahaya primer dari semula 10 km menjadi 15 km (3 November) pukul 15.55 dan dari 15 km menjadi 20 km pada pukul 01.00 (5 November).

Badan Geologi memperkirakan, volume material vulkanik yang dimuntahkan Merapi selama 26 Oktober-9 November mencapai 140 juta meter kubik. Jumlah itu 10 kali lebih besar dari volume erupsi 2006.
Benarkah Merapi meninggalkan kelaziman erupsi efusif yang dikenal warga?

Berubah-ubah
Jika kita membuka berbagai referensi, sejak pertama muncul sebagai gunung pada sekitar 60.000 tahun lalu, Merapi sebenarnya tidak memiliki satu pola letusan sama. Ia berubah-ubah sepanjang periode sejarah, dari model ekstrusi lava secara efusif hingga erupsi eksplosif. Mulai abad ke-19, tren eksplosif semakin besar. Mulai abad ke-20, Merapi memasuki interval aktivitas rendah.

Para peneliti vulkanologi jauh-jauh hari telah memperkirakan rangkaian letusan efusif (luncuran) yang seolah menjadi ciri khas Merapi sejak tahun 1900-an hanyalah kondisi sementara. Letusan Merapi yang eksplosif akan terjadi lagi. Hal itu menjadi kesimpulan penelitian para vulkanolog dalam dan luar negeri yang terangkum dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi 100 terbitan tahun 2000 dengan laporan utama berjudul ”10.000 Years of Explosive Eruptions Merapi Volcano, Central Java: Archaelogical and Modern Implications”. Data geologi telah menunjukkan hal itu.

Tahun 1800-1900-an, aktivitas Merapi direkam cukup lengkap oleh naturalis Junghun, vulkanolog Bemmellen, Hartmann, hingga Neumann van Padang. Sayangnya, informasi dan catatan dokumentasi terkait perilaku Merapi tersebar dan tidak terdokumentasi baik. Padahal, catatan lengkap dari abad ke abad itu penting untuk keperluan riset, pemantauan lebih lanjut, dan terutama untuk penyusunan program mitigasi.

Dampak letusan eksplosif akan sangat fatal mengingat kepadatan penduduk di lereng Merapi sekarang. Ancaman bahaya semakin besar karena hingga kini tidak ada satu metode pasti yang bisa digunakan untuk memprediksi kapan letusan besar muncul. Sementara itu, masyarakat yang telanjur terbiasa dengan pola erupsi efusif tidak mengetahui ancaman yang mereka hadapi.

Sedahsyat apa pun dampak letusan Merapi, masyarakat tetap akan kembali menghuni lerengnya. Ada ikatan sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak bisa lepas. Antropolog Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, masyarakat Merapi menyikapi alam dengan mencoba memahami gejalanya. Dalam posisi inilah, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan berkembang dalam upaya menjelaskan berbagai gejala alam.
Kirbani Brotopuspito, Guru Besar Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pemantauan Merapi harus diperkuat. Selain badan vulkanologi, universitas yang memiliki lembaga riset juga perlu membantu. (ENG/DOT)

Kamis, 11 November 2010

Tsunami: Distribusi Bantuan ke Mentawai Terhambat


Rabu, 10 November 2010

PADANG, KOMPAS - Sekitar dua minggu pasca- tsunami di Kabupaten Mentawai, distribusi barang dari Kota Padang ke daerah tersebut masih banyak. Sementara jadwal kapal feri dari Padang ke Mentawai sangat terbatas. Akibatnya, distribusi barang pun terhambat.

Hambatan ini setidaknya tampak di Pelabuhan Busung, Kota Padang, Selasa (9/11). Terdapat satu jadwal pelayaran dari Pelabuhan Bungus tujuan Sikakap pada Selasa kemarin.

Berdasarkan pemantauan, arus barang masih banyak dari Padang tujuan Sikakap. Namun, tidak semuanya bisa masuk ke kapal feri PT ASDP. Mayoritas barang adalah bahan makanan.

Meski kapal feri paling cepat berangkat pukul 15.00, akses barang telah ditutup sejak pukul 13.00.
Menurut Supervisor Lintasan PT ASDP Pelabuhan Busung Suparman, penutupan akses barang disebabkan kapasitas muat kapal telah mencapai ambang batas.

”Karena kapasitas muat kapal sudah dalam ambang batas, kami harus menutup akses. Ini demi keselamatan penumpang,” kata Suparman.

Barang yang belum terangkut ada yang milik warga dan ada pula yang merupakan bantuan bencana. Salah satunya adalah barang bantuan yang diangkut dua mobil dari Tagana, Sumatera Barat.

”Karena barang tak bisa masuk kapal, maka kami sedang mencari kapal lain. Tapi kelihatannya tidak ada. Jadwal paling cepat baru minggu depan,” kata Koordinator Tagana di Padang, Solekhan.

Sementara barang milik warga yang tak terangkut pun menumpuk di Pelabuhan Busung. Barang tersebut pun juga sangat dibutuhkan karena pascabencana, praktis semua kebutuhan pangan Mentawai mengandalkan pasokan dari Padang.

Dalam seminggu, ada tiga jadwal dari Pelabuhan Bungus ke Sikakap.Sementara untuk yang tujuan Kota Kabupaten Mentawai, Tua Pejat, sebulan hanya ada dua kali pelayaran. Hal sama juga terjadi untuk jadwal ke Siberut.

Dari Sikakap dilaporkan aktivitas belajar-mengajar di sekolah-sekolah di wilayah yang terkena bencana gempa tsunami di Pagai Utara dan Selatan, Mentawai, belum pulih. Hingga kini masih banyak siswa yang belum kembali belajar di sekolah.

Di SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan, satu-satunya SMA di Kepulauan Pagai, suasana di ruang-ruang kelas masih tampak lowong. Sebagian siswa asal daerah-daerah terkena bencana belum kembali ke sekolah untuk belajar.

Dari 657 siswa yang terdaftar di sekolah ini, rata-rata baru 300 siswa per hari selama sepekan terakhir yang hadir di sekolah. ”(Belajar-mengajar) memang belum efektif. Mereka masih di dalam suasana berduka dan sibuk mengurusi keluarganya,” ujar Dewi Sinta Juwita, Kepala SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan.

Waktu belajar-mengajar pun lebih cepat dari biasanya. Siswa- siswa di sejumlah kelas dipulangkan lebih cepat. Dari biasanya sekitar enam jam waktu belajar, kemarin, sejumlah siswa hanya belajar dua jam. Siswa masuk pukul 07.30 WIB, mereka sudah pulang pukul 09.30 WIB.

Pihak sekolah juga terpaksa menggabungkan tiga kelas sekaligus untuk sejumlah mata pelajaran.
”Soalnya, tidak efektif kalau masing-masing, sementara siswanya sedikit,” ujar Dewi kemudian. Namun, dia menampik itu terjadi akibat sejumlah guru masih belum masuk mengajar.

Sebanyak 80 persen siswa di SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan yang berada di Sikakap ini berasal dari wilayah terpencil yang sulit dijangkau sehingga sebagian terpaksa indekos di gubuk-gubuk di Sikakap.

Tsunami Hantam Mentawai Pukul 21.56
Terjawab sudah pertanyaan sejumlah kalangan tentang kapan persisnya gelombang tsunami menghantam Mentawai. Tim Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin pakar tsunami, Subandono Diposaptono, menemukan jam dinding yang sudah tidak berfungsi lagi di dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.

"Jarum jam menunjuk angka pukul 09.56. Ini artinya tsunami menyeret jam dinding dan mengakibatkan jam dinding berhenti berdetak karena hantaman tsunami pada pukul 21.56. Hal ini menunjukkan bahwa tsunami menerjang pantai Dusun Maonai 14 menit setelah terjadinya gempa," ujar pakar tsunami tersebut, Rabu (10/11/2010) di kantor KKP, Jakarta.

Seperti diwartakan, gempa terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010 pukul 21.42 dan berpusat di 3,61 Lintang Selatan dan 99.93 Bujur Timur serta berkekuatan 7,2 SR. Gempa ini menimbulkan tsunami dan menghancurkan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sipora.

Subandono menambahkan, tinggi tsunami Mentawai yang berhasil teramati di sekitar 13 titik bervariasi antara 2-8 meter. Ketinggian tsunami tersebut diukur dari permukaan air laut sesaat sebelum tsunami. Perbedaan ketinggian tsunami dari satu tempat ke tempat lain lebih dipengaruhi faktor lokal, seperti batimetri dan geomorfologi pantai berupa teluk.

Tinggi genangan gelombang tsunami yang menghempas ke daratan bervariasi dan rata-rata 1-4 meter diukur dari permukaan tanah. Genangan tsunami tersebut dibarengi arus yang cukup deras, yaitu 10-25 km/jam, dengan tekanan yang ditimbulkan mulai 1-3 ton/meter persegi. Kecepatan arus dan tekanan inilah yang menghancurkan kehidupan di pantai.

(LAS/JON/Hindra Liu)

Rabu, 10 November 2010

Banyak Warga Belum Tersentuh Bantuan

Penduduk yang hendak diungsikan dari Desa Gemampir di lereng Merapi. Mereka jadi bagian kecil dari 320.090 pengungsi yang berserak di tempat-tempat penampungan sementara di DIY dan Jawa Tengah. (FOTO: Kemal Jufri/New York Times)*
Rabu, 10 November 2010

Magelang, Kompas - Hingga hari keempat pascagelombang pengungsian akibat erupsi Merapi pada 5 November lalu, banyak pengungsi belum mendapatkan bantuan memadai. Jumlah pengungsi yang sangat banyak dan tersebar di ratusan lokasi membuat pemerintah kewalahan menangani.

Banyak korban bencana Merapi yang tidak mengungsi, tetapi membutuhkan bantuan pangan, karena lahan pertanian mereka tertutup abu vulkanik.

Di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 1.000 warga Dusun Nglawisan, Kelurahan Taman Agung, Kecamatan Muntilan, memilih tidak mengungsi meski wilayah mereka di zona bahaya, sekitar 17,5 kilometer dari puncak Merapi.

Warga bertahan dengan sisa bahan makanan yang ada. Sebagian warga hanya mengonsumsi singkong dan nangka muda karena tidak punya beras.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Penanggulangan Bencana Kabupaten Magelang Eko Triyono mengatakan, pemerintah akan memberikan dukungan lauk-pauk bagi mereka yang mengungsi di rumah warga. Namun, pengungsi harus melapor kepada kepala desa.

Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diperkirakan ada 50 posko pengungsian mandiri di sejumlah lokasi yang belum terjangkau bantuan pemerintah atau swasta. Jumlahnya belum diketahui. Kebanyakan mereka berada di rumah-rumah warga.

Staf Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Boyolali Insan Adhi Asmono, Selasa (9/11), menuturkan, pengungsi yang terdata sebanyak 66.993 jiwa berasal dari Selo, Cepogo, dan Musuk. Mereka tersebar di 75 lokasi pengungsian. Pemkab Boyolali kewalahan menangani karena jumlah mereka sangat banyak. Kebutuhan yang paling mendesak adalah beras karena stok beras pada Selasa hanya untuk 1,5-2 hari lagi.
Insan mengakui, kebutuhan pengungsi saat ini hanya diketahui dari posko-posko pengungsian yang terdata oleh Pemkab Boyolali. Yang belum terdata kebanyakan di rumah warga. ”Jadi susah untuk didata,” kata Insan.

Secara keseluruhan, di Jateng tercatat ada 214.527 pengungsi yang tersebar di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Jumlah pengungsi di Magelang pada Selasa terdata 82.944 orang di 223 lokasi. Mereka antara lain menempati sejumlah kantor dinas, gudang Bulog, dan balai desa. Di sejumlah tempat juga didirikan tenda.

Warga Kabupaten Magelang mengungsi hingga keluar kawasan Kabupaten dan Kota Magelang, antara lain ke Wonosobo, Purworejo, dan Kendal.

Pemkab Magelang kembali mengajukan permintaan bantuan dana untuk korban bencana erupsi Gunung Merapi kepada Pemprov Jateng Rp 4 miliar. Selain dana sudah habis, jumlah pengungsi terus membengkak.
Terkait pengungsi, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif mengatakan, pihaknya tengah mendata ulang pengungsi yang berada di barak-barak pengungsian.

Di Bandung, Selasa, Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla meminta perguruan tinggi di sekitar daerah terimbas letusan Gunung Merapi aktif menyediakan pengungsian yang layak. Misalnya, menyiapkan ruang kelas untuk berteduh dan sarana sanitasi untuk pengungsi. Hal ini perlu agar pengungsi merasa aman dan nyaman.

 ”Beberapa perguruan tinggi sudah aktif menyediakan tempat bagi pengungsi, seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,” katanya.

Bantuan negara sahabat
Parlemen China berjanji akan membantu penanganan bencana di Indonesia. Selain bantuan uang setara Rp 13 miliar, mereka juga akan menyumbang alat peringatan dini tsunami. Hal itu disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufik Kiemas seusai bertemu Ketua Parlemen China Wu Bangguo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Secara terpisah, Wakil Presiden Boediono menggalang dana saat menonton pertunjukan wayang orang Bharata dengan lakon ”Satya Wiratama”, Senin malam. Jumlah dana yang terkumpul mencapai Rp 7,7 miliar dan makanan senilai Rp 200 juta dari direksi sejumlah BUMN yang diundang. Dana langsung disalurkan lewat Palang Merah Indonesia Pusat. Demikian disampaikan Juru Bicara Wapres, yang juga Staf Khusus Bidang Media Massa, Yopie Hidayat kepada pers, di Istana Wapres, Selasa.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan agar penyelenggara negara tetap memerhatikan prosedur yang benar dalam pengadaan barang dan jasa saat menangani bencana. Prosedur penunjukan langsung hanya ditolerir pada masa tanggap darurat. Demikian Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, Selasa di Jakarta.

Gempa bumi
Di luar aktivitas Merapi, Selasa pukul 14.03, wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya diguncang gempa tektonik berkekuatan 5,6 skala Richter. Gempa berpusat di 125 kilometer barat daya Bantul.
Menurut Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Yogyakarta Tonny Agus Wijaya, gempa tektonik di perairan laut ini tidak memengaruhi Merapi.

Gempa itu terasa sampai di Kota dan Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Namun, getarannya ringan.

Selasa pukul 19.30, gempa berkekuatan 5,7 skala Richter mengguncang Sukabumi, Cianjur Selatan, Tasikmalaya, dan Bandung. Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan, gempa berpusat di laut sekitar 139 kilometer sisi tenggara Sukabumi di kedalaman 14 kilometer.

Gempa bumi berkekuatan 5,6 skala Richter juga mengguncang Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa sekitar pukul 18.00. Gempa yang berpusat di kedalaman 18 kilometer pada 65 kilometer sebelah tenggara Pulau Siberut itu sempat membuat warga panik dan berlarian ke bukit.

(PRA/WIE/EGI/HEN/WHO/ENY/CHE/NIK/HAR/NTA/WHY/INK/REK/ADP)

*Kami menggunakan foto pengungsi Merapi dengan mencantumkan akreditasinya. Bila pemilik foto keberatan, silakan kontak kami dan foto akan kami ganti. 

Selasa, 09 November 2010

Pengungsi Merapi di Klaten Lebih 99 Ribu Jiwa

Senin, 08 November 2010, 22:21 WIB

Relawan menyelamatkan seorang lansia menjauh dari bahaya (FOTO: Keystone/Rex Features)

REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN--Jumlah pengungsi akibat erupsi Gunung Merapi yang menempati sejumlah posko pengungsian di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, mencapai 99.293 jiwa hingga Senin malam. "Data sementara yang kami peroleh menyebutkan bahwa para pengungsi menempati 174 titik di 16 kecamatan di seluruh Klaten," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekretaris Daerah Klaten, Sugeng Haryanto, Senin.

Penambahan jumlah pengungsi di Klaten, lanjut Sugeng, terhitung sangat cepat karena hingga Senin pagi pengungsi baru berjumlah sekitar 93 ribu jiwa. Sementara itu, Koordinator Posko Pengungsian Pemkab Klaten Joko Rukminto memperkirakan eksodus besar-besaran para warga terjadi karena ada peningkatan aktivitas.

Merapi yang ditandai dengan terdengarnya suara gemuruh pada beberapa malam belakangan. "Suara gemuruh setiap dini hari membuat warga panik dan memutuskan untuk mengungsi meskipun rumah mereka berada di luar radius aman 20 kilometer," kata Joko.

Perpindahan warga tersebut, lanjut dia, mau tidak mau memaksa Pemkab terus mencari alternatif tempat tinggal sementara bagi para warga. Joko mengakui Pemkab merasa kewalahan karena seluruh lokasi berkapasitas besar telah digunakan dan dihuni ribuan pengungsi. "Sementara ini, Pemkab meminta warga di kawasan Kota Klaten untuk menampung warga lereng untuk sementara waktu," katanya.

Bagaimana pun, lanjutnya, Pemkab harus tetap memberikan rasa aman pada para warga karena aktivitas Merapi masih tidak stabil. "Jaminan keamanan dan keselamatan warga harus diupayakan agar warga tidak kembali ke permukiman mereka sebab Merapi masih mengancam hingga saat ini," kata dia.

Bantul Canangkan Gerakan Rp 1.000 untuk Korban Merapi

Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencanangkan gerakan menyumbang Rp 1.000 yang ditujukan kepada seluruh siswa di daerah ini untuk membantu meringankan korban awan panas letusan Gunung Merapi. "Gerakan ini sebagai bentuk kepedulian pemerintah kabupaten (pemkab) terhadap korban letusan Gunung Merapi karena hasilnya nanti akan disumbangkan kepada korban letusan Gunung Merapi untuk meringankan beban meraka," kata Bupati Bantul Sri Suryawidati di Bantul, Senin.

Pencanangan gerakan menyumbang Rp 1.000 bagi siswa sekolah di Kabupaten Bantul secara simbolis dicanangkan bupati usai mengikuti upacara bendera di halaman SMA Negeri 2 Bantul. "Dengan adanya gerakan menyumbang seribu rupiah ini diharapkan para siswa di mempunyai kepedulian terhadap penderitaan orang yang yang tengah terkena musibah dan bersedia menyisihkan sebagian uang sakunya untuk menyumbang korban bencana Merapi," katanya.

Bupati mengatakan hasil dari sumbangan yang dikumpulkan di setiap sekolah akan disalurkan kepada korban letusan Gunung Merapi melalui Palang Merah Indonesia (PMI) Bantul yang merupakan posko bantuan hasil koordinasi dengan Pemkab Bantul. "Gerakan ini merupakan gerakan yang diperuntukan untuk pengumpulan bantuan uang bagi korban Gunung Merapi. Kami juga akan mengumpulkan bantuan sedikit demi sedikit dari masyarakat dan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul, " katanya.

Ia mengatakan pihaknya tidak akan membatasi sumbangan bantuan tersebut hanya dengan Rp 1.000, namun jika menginginkan memberi lebih dipersilakan sesuai kemampuan dan niat masing-masing. "Gerakan ini sekaligus mengingatkan Bantul yang pernah terkena bencana gempa pada 2006 dan banyak yang ikut menyumbang, sehingga sudah saatnya warga ikut mengulurkan tangan membantu saudara kita yang sedang terkena bencana," katanya.

Bantuan lain dari masyarakat Bantul berwujud makanan, pakaian, dan lainnya, kata dia, diharapkan tidak disalurkan sendiri, melainkan dapat melalui posko yang telah disiapkan pemkab. "Pemkab Bantul telah membuka Posko penerimaan bantuan korban bencana Merapi di Markas PMI Bantul agar bantuan yang disalurkan masyarakat akan tepat sasaran dan bermanfaat bagi para korban bencana Merapi," katanya.
 
Red: Krisman Purwoko, Siwi Tri Puji B
Sumber: ant

Minggu, 07 November 2010

Rakyat Tulus Berbagi

Minggu, 7 November 2010 | 05:26 WIB

Sebagian warga Dusun Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memilih tinggal di atas truk daripada di barak pengungsian sebagaimana ditemui di depan Balai Desa Argomulyo, Kamis (4/11). Mereka lebih suka tinggal di atas truk karena bisa sewaktu-waktu menyelamatkan diri jika letusan Merapi mengancam keselamatan. (Kompas. Wawan H Prabowo)
KOMPAS.com - Hampir sepekan Mulyadi (52), warga Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Jawa Tengah, ini berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.

Upaya Mulyadi membantu para pengungsi tak berhenti di situ. Bersama tiga tetangganya, yang juga menyediakan rumahnya, saban hari ia menyiapkan makanan bagi sekitar 250 orang pengungsi. Sabtu (6/11/2010) pagi, rumah Pak Guru, panggilan Mulyadi, mulai dari teras, ruang tamu, ruang belakang, hingga kamar tidur penuh dengan para pengungsi.

Karena menampung begitu banyak pengungsi, rumah seukuran 250 meter persegi itu menjadi ”milik” bersama. Mulyadi harus siap hidup berdampingan dengan orang lain, yang tadinya tidak pernah ia kenal.
Sudah pasti risikonya, ia juga harus siap dengan sejumlah perbedaan kebiasaan. Walau kemudian gagang pintu kamar mandinya serta keran dispensernya rusak, Mulyadi menyikapinya dengan ikhlas.
”Ya, namanya juga dari gunung, saya maklum saja, ha-ha-ha,” tutur Mulyadi.

Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Itulah yang mendorong mantan guru ini menyediakan rumahnya sebagai tempat pengungsian. ”Saya senang bisa berguna buat orang lain,” katanya.

Perasaan senasib juga sering kali mendorong sikap toleran dan kebutuhan untuk saling membantu. Di antara sesama pengungsi pun solidaritas menggema di mana-mana. Ketika diminta mengungsi, Narti (42), warga Dusun Kopeng, Desa Kepuhan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, sedang berada di ladang.
Oleh sebab itu, ia hanya sempat membawa sebuah selimut. ”Saat ngungsi, selimut satu kami pakai bersama,” katanya. Bahkan, para pengungsi di Gedung Koperasi Republik Indonesia, Kecamatan Borobodur, yang jumlahnya mencapai 150 orang ini, juga menggunakan sabun mandi secara bersama-sama.

Seorang perempuan bernama Jumini (30), yang mengungsi terpisah dengan suaminya, sering kali merasa terharu. Warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, ini berterima kasih kepada sesama pengungsi lantaran mereka setiap kali menyuapi Kiki (3), anaknya. ”Di pengungsian, Kiki jadi anak bagi banyak orang,” tutur Jumini sambil menyeka air matanya yang meleleh sampai pipinya.

Biskuit

Sikap berbagi juga ditunjukkan oleh para anak. Lihatlah Kuat (7), bocah pengungsi asal Dukuh Gowoksabrang, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kuat yang sedang ditampung di tempat pengungsian sementara Palbapang, Muntilan, bersama Eni (45), ibunya, tiba-tiba membagi biskuit kepada seorang anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya.

”Baru kali ini dia mau memberikan jajan miliknya kepada orang lain. Kuat biasanya selalu menyimpan makanannya sendiri,” tutur Eni.

Di tempat pengungsian sementara di Pabrik Kertas Blabak, Magelang, Sani (45) membagikan puluhan ikat kedelai kepada beberapa pengungsi. Kedelai rebus itu berasal dari ladangnya sendiri di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, kira-kira 13 kilometer dari tempat pengungsian. Sani bersama beberapa orang sengaja kembali ke desanya untuk memanen kedelai yang kemudian ia bagi kepada sesama pengungsi.

”Kami baru kenal di pengungsian. Karena banyak yang tidak kebagian jatah makan, saya kembali ke desa untuk memanen kedelai,” kata Sani. Ia tahu, kembali ke desa berarti menempuh risiko karena Desa Kapuhan termasuk dalam zona berbahaya.

Kampus


Solidaritas juga terlihat demikian kuat di kalangan kampus. Saat Merapi meletus pada Jumat (5/11/2010) dini hari, beberapa universitas di Yogyakarta meliburkan perkuliahan dan menyerukan kepada mahasiswa mereka untuk menjadi relawan. Selain itu, beberapa universitas menyiapkan kampus mereka sebagai tempat penampungan para pengungsi.

Di Gelanggang Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kini ditampung tak kurang dari 590 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, DI Yogyakarta. Saat mendapat instruksi untuk menampung para pengungsi, para mahasiswa bahu-membahu menyiapkan ruangan.
”Kami khusus mencari warga Hargobinangun agar mereka bisa berkumpul bersama keluarganya,” tutur Humas Posko Merapi UNY Akhmada Khasby Ash Shidiqy (22). Akhmad bergabung bersama 300 mahasiswa UNY menjadi relawan membantu para pengungsi.

Universitas yang juga spontan menyediakan ruangan kampus mereka untuk menampung pengungsi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di rumah warga, kampus, dan berbagai tempat penampungan lain, para pengungsi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini harus hidup bersama.

Merangkul manusia

Kebersamaan itu membutuhkan toleransi dan membuang jauh-jauh egoisme. Melihat spontanitas dan ketulusan warga, rohaniwan Romo Kirjito mengatakan, Merapi sedang merangkul manusia. Erupsi gunung teraktif di Jawa itu telah menggerakkan manusia untuk memerhatikan sesama.

”Dalam peristiwa itulah rasa kemanusiaan mengalahkan segala-galanya. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan ini,” ujar Romo Kirjito.

Masalahnya memang sering kali perasaan solidaritas sosial itu baru tumbuh dan membesar di saat-saat krisis. Tetapi, rasa itu tumbuh secara sporadis, tidak diorganisasikan secara masif sehingga menjadi modal kebersamaan yang besar. Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih. (GAL/HEN/EGI/WHO/ ENY/IRE/BSW/CAN)

Sabtu, 06 November 2010

Merapi Peras Air Mata

Sabtu, 6 November 2010

Seorang pengungsi meneteskan air mata saat berhasil mencapai posko pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pascaerupsi Gunung Merapi, Jumat (5/11) dini hari. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Yogyakarta, Kompas - Letusan eksplosif Gunung Merapi sepanjang Kamis (4/11) pukul 23.00 hingga Jumat petang memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan, dan membawa korban tewas 64 orang, puluhan sapi mati, serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.

Hingga pukul 23.00 semalam, tercatat jumlah korban meninggal dunia 64 orang, semuanya penduduk Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, dan luka-luka 77 orang. Sejumlah sapi mati terbakar serta sejumlah rumah terbakar dan rusak.

Semalam, pengungsi mencapai 150.255 orang, terdiri dari pengungsi di DIY 34.000 orang serta pengungsi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten (semuanya di Jawa Tengah) 116.255 orang.
Sejak letusan pertama, 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m). Separuh di antaranya diperkirakan menyembur Jumat dini hari hingga petang, ditandai dengan luncuran awan panas.

”Letusan ini lebih besar dari letusan Gunung Galunggung tahun 1982. Waktu itu Galunggung mencicil erupsi selama 10 bulan. Merapi hanya dalam dua minggu,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar, Jumat. Sekitar 100 juta m material vulkanik itu menyebar ke sektor selatan, barat daya, tenggara, barat, dan utara yang di antaranya meliputi Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Magelang di Jawa Tengah.

Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) pada Jumat pagi, jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi, sepanjang Kamis-Jumat, tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY.

Akibat letusan itu, tiga alat pencatat gempa BPPTK di Stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas. Saat ini seismograf yang masih berfungsi tinggal satu unit di Stasiun Plawangan. ”Hari ini (kemarin) kami mencoba memasang satu seismometer di sisi Jrakah (Magelang),” kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Salah satu peringatan akan ancaman terbesar yang serius adalah aliran lahar dingin, yang bisa mencapai Kali Code, Kali Gajahwong, dan Kali Winongo di DIY. Ancaman menjadi kian serius apabila hujan terus mengguyur di kawasan lereng Merapi.

Sepanjang Rabu hingga Jumat pagi, aktivitas Merapi meningkat dahsyat. Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh.
Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. Suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. Hujan abu vulkanik juga terjadi hingga Kota Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan, dilaporkan hingga Kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.

Di Magelang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kesulitan membersihkan jalur evakuasi yang tertutup pohon-pohon tumbang. Hal itu dikhawatirkan berisiko apabila letusan Merapi datang lagi.

Lima langkah Presiden
Merespons kondisi Gunung Merapi yang kian mengancam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden kemarin menetapkan lima langkah ekstra penanggulangan bencana.

Langkah pertama adalah penetapan kendali operasi tanggap darurat di tangan Kepala BNPB Syamsul Maarif. Kepala BNPB akan dibantu oleh Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Panglima Kodam IV Diponegoro, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Kepala Kepolisian Daerah DIY.

Langkah kedua, mendorong unsur pemerintah pusat berada di garis depan. Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono memastikan bantuan bagi masyarakat bisa diberikan dengan cepat, tepat, dan terkoordinasi.

Ketiga, Presiden memerintahkan TNI mengerahkan satu brigade penanggulangan bencana.
Keempat, Presiden memerintahkan Polri mengerahkan satuan tugas kepolisian untuk penanggulangan bencana karena pergerakan lalu lintas masyarakat di tengah bencana berpotensi menimbulkan kekacauan. Kelima, Presiden menegaskan, pemerintah akan membeli sapi-sapi ternak milik penduduk kawasan Gunung Merapi dengan harga yang pantas.

Secara mendadak, pada Jumat sore Presiden memutuskan berangkat lagi ke Yogyakarta untuk memastikan semua pihak menjalankan tugasnya.

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding menegaskan, pemerintah harus tegas memaksa warga di sekitar lereng Gunung Merapi untuk mengungsi ke tempat aman. Agar warga tidak cemas, pemerintah harus menjamin penggantian ternak warga yang mati serta memindahkan ternak yang masih hidup. ”Petugas harus tegas melarang pengungsi yang kembali ke rumahnya. Warga harus dipaksa mengungsi,” katanya.

Gelombang pengungsi
Jumat dini hari, gelombang pengungsi datang dari utara. Di Jalan Kaliurang, ribuan sepeda motor dan mobil dipacu kencang ke arah Kota Yogyakarta di tengah hujan abu vulkanik, pasir, dan kerikil. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan radius aman primer Merapi dari 15 km menjadi 20 km.

Eksodus pengungsi pun terjadi, yang di antaranya terkonsentrasi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, yang menampung hingga 30.000 jiwa. Di Masjid Agung Sleman di kompleks Pemerintah Kabupaten Sleman, ribuan pengungsi berdatangan dengan kondisi memprihatinkan mulai pukul 01.30. Tubuh mereka berlumuran abu vulkanik.

Puluhan pengungsi terlihat di Masjid Agung Kauman di kompleks Keraton Ngayogyakarta.
RS Sardjito, Yogyakarta, hingga pukul 21.15 tercatat menerima 64 jenazah dan 66 korban luka bakar parah. Sejak subuh ambulans bergiliran datang membawa korban tewas ataupun luka bakar. Di Klaten, 80 warga dirawat di RSU Soeradji Tirtonegoro.

”Tidak ada korban meninggal, tapi ada salah satu pengungsi yang hamil tua kehilangan calon bayinya karena shock dampak psikologis,” ujar Kepala Instalasi Gawat Darurat RSU Soeradji Tirtonegoro, Klaten, dr Hartolo.

”Meski Jumat siang erupsi sudah relatif mereda dibandingkan dua hari sebelumnya, bukan berarti berhenti. Letusan besar lagi kemungkinan masih ada,” kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Mengantisipasi membeludaknya jumlah pengungsi, Pemerintah Provinsi Yogyakarta menyiapkan gedung-gedung sekolah apabila diperlukan. Sejauh ini jumlah pengungsi terbesar ada di Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Sejak kemarin pagi Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, ditutup total. General Manager Bandara Adisutjipto Agus Adriyanto menuturkan, penutupan itu semula ditetapkan berlaku mulai pukul 06.00 hingga 09.00. Penutupan bandara diperpanjang hingga satu hari penuh. Akibat penutupan tersebut, sekitar 90 jadwal penerbangan dari dan menuju Yogyakarta dibatalkan. Sekitar 8.000 calon penumpang pesawat dari dan menuju Yogyakarta juga batal terbang.

Kampus-kampus di DIY kemarin membuka pintu untuk para pengungsi Merapi. Selain kampus, para pengungsi juga memadati stadion olahraga. (Tim Kompas)

Tsunami Mentawai: Pencarian Korban Masih Terus Dilakukan

TNI angkut bantuan utk korban Tsunami di Mentawai (AFP.Kompas)
PADANG, KOMPAS.com - Pencarian korban yang hilang dalam bencana gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih akan terus dilakukan.

Pascabencana yang terjadi pada 25 Oktober malam tersebut, sekitar 58 orang masih dinyatakan hilang.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat per pukul 18.50, 5 November 2010, menunjukkan 19 orang dari dua desa di Kecamatan Pagai Selatan dan 39 orang dari dua desa di Kecamatan Pagai Utara masih dinyatakan hilang.

Dua kecamatan ini memang mengalami kerusakan paling parah dan menelan korban jiwa paling banyak dari empat kecamatan di Mentawai yang diterjang tsunami.

"Pencarian korban masih dilakukan. Tanggap darurat kan masih sampai tanggal 7," ungkap Hendri Faruza, yang turut membantu sebagai petugas bantuan komunikasi di BPBD Sumbar.

Hendri dan rekannya, Nelson Sip, berasal dari komunitas Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Mereka menjadi relawan di kantor BPBD di Kota Padang untuk berkomunikasi langsung dengan para relawan di Mentawai.

"Untuk komunikasi kalau ada lagi yang ditemukan, diinformasikan ke sini dan dicatat," tambahnya.

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Sabtu, 6 November 2010 | 10:43 WIB

Kampus Jadi Tempat Pengungsi dan Pos Pemantauan Merapi

Sabtu, 06 November 2010, 06:10 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sejumlah kampus di Yogyakarta menjadi barak pengungsian korban Merapi dan posko pemantau. Berdasarkan situs www.jalinmerapi.com, kampus tersebut antara lain gelangang mahasiswa UGM dan gelanggang olah raga (GOR) UNY.

Noor Alifa, relawan yang berada di gelangang UGM mengatakan jumlah pengungsi di kampusnya mencapai 700 orang. Jumlah relawan yang ada dianggap cukup untuk membantu pengungsi termasuk memenuhi kebutuhan mereka seperti makan hingga logistik. "Kondisinya tidak terlalu penuh dan mereka mendapatkan semua yang mereka butuhkan," katanya saat dihubungi pada Sabtu, (6/11) dini hari.

Menurutnya, hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah pendampingan untuk para pengungsi agar tidak kembali ke rumah masing-masing. Sebab, meski sudah diinstruksikan, beberapa warga di antaranya masih membandel. "Mereka pergi dengan alasan memberi pakan ternak," katanya.

Selain itu dua tempat tersebut, kampus lain yang dijadikan posko pengungsian dan posko pemantau antara lain kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Sanata Dharma (Sadhar), kampus Paingan di Maguwoharjo, Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta di Jalan Kaliurang Km 7, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

Sejumlah sekolah dan tempat ibadah pun dimanfaatkan sebagai posko tambahan. Contohnya, sekretariat Forum PRB DIY. Gedung Badan Kesbanglinmas Prov DIY, Jl Sudirman 5 Yogyakarta; gereja katolik babadan; SMP 3 Jatinom; GOR pangukan, tridadi, Sleman. Tempat lainnya yaitu taman kuliner condong catur; Gereja Kalasan; Masjid Al-Fatah, Pundungrejo, Kadirojo 2, Purwomartani; Posko Youth Center Bolawen, Tlogoadi; dan Balai Desa Sariharjo.

Kamis, 04 November 2010

Ribuan Pengungsi Merapi Menunggu Dievakuasi

Antara - Kamis, 4 November

Pengungsi yang diselamatkan dari lereng Merapi di Pakem, Yogyakarta. Foto:msnbc.com  
Magelang (ANTARA) - Ribuan pengungsi di tempat pengungsian sementara (TPS) di sekitar Gunung Merapi dalam radius kurang 15 kilometer dari puncak Merapi hingga Rabu malam masih menunggu dievakuasi petugas.

Berdasarkan pantauan, di Dukun dan Srumbung yang kedua wilayah tersebut berada sekitar 13 kilometer dari puncak Merapi, para pengungsi masih menempati barak pengungsian.
Di TPS Lapangan Dukun ditempati sekitar 1.318 pengungsi dan di sejumlah titik pengungsian di daerah Srumbung terdapat 2.280 pengungsi.

Berdasarkan imbauan dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak Rabu sore wilayah lereng Merapi dalam radius 15 kilometer harus dikosongkan menyusul puncak Merapi terjadi erupsi besar secara intensif.

Kepala Desa Dukun, Yudowaskito, mengatakan, hingga saat ini belum ada instruksi baik dari pihak pemerintah kecamatan maupun kabupaten untuk melakukan evakuasi para pengungsi di TPS.
"Kami masih menunggu instruksi dari atas dan sekarang masih aman sehingga pengungsi masih di TPS," katanya. Ia mengatakan, seandainya ada instruksi untuk dilakukan evakuasi semuanya sudah siap, termasuk armada yang akan mengangkut pengungsi."Armada selalu disipkan di kecamatan," katanya.

Camat Srumbung, Agus Purgunanto, mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum mendapat instruksi untuk mengosongkan wilayah dengan radius 15 kilometer dari puncak Merapi."Sementara ini para pengungsi di TPS Srumbung masih bertahan," katanya.

Hingga sekitar pukul 23.00 WIB hujan abu masih turun di kawasan Muntilan dan Dukun sedangkan aliran listrik masih padam.

Di sepanjang jalan Muntilan hingga Dukun sepanjang sekitar 20 kilometer, sejumlah masyarakat di beberapa tempat mengalirkan air dari parit ke jalan agar abu vulkanik bisa hanyut terbawa air.Hujan air dengan disertai abu vulkanik cukup deras juga turun di Kota Magelang sekitar 10 kilometer dari Kota Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.

"Di sini juga hujan abu cukup deras," kata Yusuf Kusuma, salah seorang warga Kota Magelang.