expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 16 Februari 2011

Kerukunan: Belajarlah di Kaki Merapi


Merapi mengajarkan bagaimana hidup dalam lingkungan yang penuh toleransi, meskipun berbeda agama dan latar belakang. Di tengah meningkatnya ketegangan menyangkut kelompok minoritas agama atau berbeda pemahaman keagamaan di tanah air, Merapi memberi contoh bahwa perbedaan sejatinya adalah rahmat bagi kemanusiaan. (FOTO: AP)

Ayo rukun, rukun, rukun bersatu/ayo rukun, rukun, rukun bersatu
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh/ayo rukun, rukun bersatu
Beda suku itu kawan/beda kulit bukan musuh/kita semua satu bangsa
Indonesia
Beda adat tidak soal/beda budaya tidak masalah/Indonesia
Bhinneka Tunggal Ika

KOMPAS, Magelang - Syair lagu berjudul ”Ayo Rukun Bersatu” karangan D Martama ini dinyanyikan pemimpin umat dari berbagai agama dan tokoh masyarakat di Magelang saat menghadiri acara Selamatan dan Doa Bersama Lintas Agama untuk Keselamatan Bangsa, Umat Beragama, Manusia, dan Alam, Sabtu (12/2) pagi di Posko Bersama Gerakan Pemuda Ansor untuk Korban Merapi di Jalan Raya Magelang-Yogyakarta.

Pagi itu para pemimpin agama duduk bersama di atas tikar yang digelar di pinggir jalan raya, tak jauh dari tumpukan material lahar dingin Gunung Merapi yang menghanyutkan rumah-rumah dan menutupi Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Acara selamatan diawali dengan persembahan musik hadrah. Ketua Pengurus Cabang GP Ansor Magelang Habibullah mengungkapkan, kehadiran para tokoh agama menunjukkan komitmen kebersamaan dan kemanusiaan di daerah Magelang tanpa memandang latar belakang agama, suku, bahkan teritorial.

”Komitmen ini perlu kita jaga jangan sampai tercederai oleh kepentingan kelompok atau kelompok,” ujarnya seraya menegaskan, silakan beragama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, atau Konghucu, tetapi tidak harus mengikuti model agama di luar Indonesia.

Sebelum memotong tumpeng, beberapa tokoh agama diminta menyampaikan pandangan keagamaan, kemudian dilanjutkan doa bersama untuk keselamatan bangsa, umat beragama, manusia, dan alam. Acara diakhiri makan bersama.

Menurut Habibullah, forum umat beragama tersebut sudah tercipta sejak lama. Saat erupsi berlangsung hingga banjir lahar dingin, mereka bergandeng tangan membantu korban tanpa melihat latar belakang agama.

Pertemuan pemimpin lintas agama tersebut hanyalah salah satu potret kecil keberagaman di Magelang. Sejak dulu, relasi antarumat beragama di daerah yang memiliki candi terkenal, seperti Candi Borobudur dan Candi Mendut, itu sudah terjalin erat. Saling memahami tanpa berusaha menyamakan apa yang diyakini dan saling menghormati tanpa ada ke- inginan untuk memaksakan ideologi sendiri.

Pondok Pesantren Pabelan di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, sudah sejak lama menjalin relasi dengan Seminari Menengah Mertoyudan di Kecamatan Mertoyudan dan SMA Van Lith di Kecamatan Muntilan.

”Setiap liburan sekolah para santri kami dan murid-murid SMA Van Lith serta Seminari Menengah Mertoyudan biasanya saling mengunjungi untuk olahraga bersama,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Pabelan, Ahmad Najib Hamam.

Almarhum Romo Mangunwijaya, pastor sekaligus arsitek di Yogyakarta, termasuk salah seorang tamu yang kerap datang dan menginap di sana.

Agama religiositas
Dalam membangun toleransi antaragama, Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan menggelar sidang akademik (semacam kuliah umum) setahun sekali yang mendatangkan pembicara dari luar, salah satunya dari SMA Muhammadiyah atau SMK Maarif. Demikian kata Direktur Seminari Petrus Canisius Mertoyudan Romo TB Gandhi Hartono SJ.

Kerukunan antarumat ber- agama di kaki Merapi ini juga dirasakan umat Buddha. Setiap perayaan Waisak, puluhan rumah warga di Kelurahan Mendut, di sekitar Candi Mendut, disewakan kepada umat Buddha yang mengikuti perayaan. Ini dikatakan Wakil Kepala Wihara Mendut Biku Joti- dhammo.

Tujuh pegawai kebun Wihara Mendut juga beragama Islam. Biku Jotidhammo mengatakan, warga yang beragama Islam itu tidak canggung membersihkan patung-patung Buddha dan stupa yang ada di kompleks wihara.

Begitulah kerukunan antar- umat beragama di kaki Merapi.

(REGINA RUKMORINI/SONYA HELLEN SINOMBOR)

Jumat, 11 Februari 2011

Pasca Tsunami: Pengungsi Mentawai Masih Terabaikan

Jumat, 11 Februari 2011
Wapres Boediono dan rombongan menteri lainnya saat meninjau lokasi pasca gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada akhir Oktober 2010. Kini, berselang  hampir empat bulan kemudian, kondisi para korban  masih memprihatinkan. Bahkan, sebagian pengungsi, termasuk anak-anak, masih tinggal di tenda darurat.  (FOTO: AFP/Kris/Kantor Wakil Presiden)

Jakarta, KOMPAS - Hingga lebih dari tiga bulan setelah bencana, kondisi korban gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih memprihatinkan. Buruknya manajemen bencana menjadi penyebab lambannya penanganan korban.

Berdasarkan pantauan di lapangan, Selasa (8/2) dan Rabu, kondisi pengungsi di Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, sangat memprihatinkan. Sebagian pengungsi, termasuk anak-anak, masih tinggal di tenda darurat.

Di tempat relokasi pengungsi di Kilometer 37, Kecamatan Pagai Selatan, tenda-tenda kain masih disesaki pengungsi. Ruangan dalam tenda becek karena air hujan tembus ke dalam tenda. Padahal, pengungsi hanya tidur beralaskan anyaman bambu, tripleks, atau kardus.

Kepala Dusun Konik, Desa Malakopak, Januarius mengatakan, dirinya sudah meminta Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai membangunkan hunian sementara untuk warganya. Namun, hingga kini pihaknya belum mendapat kepastian realisasinya.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari kebutuhan 1.421 hunian sementara untuk korban bencana tsunami Mentawai, yang terbangun baru 583 unit.

Selain masih bertahan di tenda-tenda darurat, warga juga terancam kekurangan pangan. Seorang pengungsi, Rinto, mengatakan, sejak satu bulan lalu mereka sudah tidak mendapatkan bantuan makanan. Mereka hanya bertahan dengan mengandalkan sisa bantuan bulan lalu.

Rinto menambahkan, sebagian warga memang sudah mulai membuka lahan untuk kebun kopi, pisang, nilam, dan keladi. Namun, tanaman itu membutuhkan waktu minimal empat bulan untuk bisa dipanen.

Kondisi semakin buruk karena pengungsi juga kesulitan mendapatkan air bersih. Fasilitas mandi, cuci, dan kakus yang dibangun oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat penuh dengan kotoran manusia karena warga kesulitan air bersih.

”Kami terpaksa tetap menggunakan WC ini meski sudah penuh dan kotor,” kata Januarius. Buruknya sanitasi membuat banyak warga terserang penyakit menular, seperti campak dan diare.

Parahnya lagi, warga yang sakit tidak bisa segera mendapat pertolongan karena sejak seminggu terakhir tidak ada lagi dokter yang mau tinggal di Posko Induk Palang Merah Indonesia (PMI) di Pulau Pagai Selatan. Menurut Engla, perawat yang berjaga di Posko PMI Pagai Selatan, karena tidak ada dokter, klinik keliling PMI yang biasanya berkeliling ke lokasi-lokasi pengungsian terpaksa dihentikan.

Tidak ada SOP
Sudibyakto, peneliti di Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis, mengatakan, kelambanan penanganan korban bencana di Mentawai menguatkan penelitian lembaganya soal ketidaksiapan daerah dalam menangani bencana. Padahal, otonomi daerah menuntut penanganan bencana didesentralisasi.

”Kami menyimpulkan, pembentukan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) banyak yang dipaksakan. Sumber daya manusia, struktur organisasi, dan kompetensi BPBD masih lemah,” kata Sudibyakto yang juga anggota pengarah BNPB ini.

Menurut Sudibyakto, walaupun sudah berkali-kali mengalami bencana, hingga saat ini Indonesia belum memiliki prosedur operasi standar (SOP) untuk menangani bencana.

”Semestinya BNPB segera menyusun SOP. Minimal SOP untuk tiga jenis bencana, yakni gempa bumi dan tsunami, gunung meletus, serta banjir bandang dan tanah longsor,” kata Sudibyakto.

Menurut dia, BNPB mengalami kendala dalam penyusunan SOP karena adanya ego sektoral antarlembaga. Setiap kementerian atau dinas di daerah belum rela di bawah kendali BNPB ataupun BPBD. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur bahwa pada masa tanggap darurat komando seharusnya berada di tangan BNPB dan BPBD. ”Setiap instansi maunya jalan sendiri-sendiri saat bencana,” ujarnya. Akan tetapi, ketika terjadi masalah seperti di Mentawai, mereka saling lepas tangan.

Dengan adanya SOP, para pihak tidak bisa saling lempar tanggung jawab ataupun tumpang tindih program. ”Sampai sekarang kita belum punya standar siapa sih yang punya tugas mengevakuasi korban saat awal bencana? Siapa yang harus menghitung jumlah korban? Siapa yang bertanggung jawab membangun barak, dan lain-lain,” kata Sudibyakto.

Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief mengatakan, pemerintah akan segera menerbitkan instruksi presiden (inpres) tentang peringatan dini tsunami di Indonesia. Menurut dia, selama ini belum ada aturan yang secara spesifik mengatur soal siapa yang mesti berbuat apa dalam peringatan dini tsunami.

Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Yono Reksoprodjo, menambahkan, inpres tersebut juga diharapkan bisa menutup kelemahan UU No 24/2007 soal minimnya perhatian terhadap mitigasi bencana.

Kebijakan anggaran
Selain buruknya manajemen bencana, kebijakan anggaran negara juga tidak mendukung penanggulangan bencana. ”Pemerintah sudah berkomitmen bahwa pengurangan risiko bencana lebih penting dibandingkan tanggap darurat. Konsekuensinya seharusnya anggaran mitigasi lebih besar daripada dana tanggap darurat,” kata Sudibyakto.

Ia mencontohkan, Pemerintah Jepang mengalokasikan dana bencana hingga 5 persen dari total anggaran negara. ”Bandingkan dengan Indonesia yang masih di bawah 0,5 persen dari APBN,” ujarnya.

Dari 5 persen anggaran bencana itu, menurut Sudibyakto, Pemerintah Jepang mengalokasikan 20-30 persen untuk mitigasi bencana serta 5-10 persen untuk dana penelitian dan pengembangan teknologi. Untuk tanggap darurat dialokasikan 30 persen dan sisanya untuk konservasi lingkungan.

”Kebijakan anggaran kita saat ini belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk menanggulangi bencana. Padahal, negeri kita sangat rawan bencana,” katanya. (AIK/INK/IND)

Sabtu, 05 Februari 2011

SERUNAI Nusantara Berkolaborasi dengan Sriwijaya Air

4 Januari 2011

Tim SERUNAI berkunjung ke kantor Sriwijaya Air di Jakarta dan diterima dengan hangat oleh Ibu Yulisa Marga Adjie, District Manager Sriwijaya Air-Jakarta Raya (tengah), dan Bpk. Fendy Kurniawan, SE, Sales Coordinator (kanan). Kunjungan ini merupakan langkah  awal kerja sama bantuan untuk  para korban bencana di kawasan Merapi. Diharapkan kerja sama ini bisa terus terjalin dalam jangka panjang, khususnya yang berkaitan dengan  bencana.


SERUNAI, Jakarta - SERUNAI Nusantara dengan didukung oleh Sriwijaya Air akan menyalurkan bantuan yang telah dipercayakan oleh para donatur dan dermawan secara langsung kepada mereka yang membutuhkannya di daerah Gunung Merapi. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan pada akhir bulan Februari. Laporan, perkembangan serta dokumentasi akan di-posting dalam website SERUNAI Nusantara.

Sriwijaya Air adalah salah satu maskapai terbesar di Indonesia yang menerbangkan sekitar 700.000 penumpang setiap bulannya. Merambah lebih dari 35 destinasi, termasuk dua negara di tingkat regional dan daerah-daerah tujuan wisata populer lainnya di seluruh Indonesia.

Selama ini Sriwijaya Air secara konsisten melakukan beragam aksi sosial, baik itu dalam acara perayaan ulang tahun Sriwijaya Air dengan berbagi kepada 500-1000 anak yatim atau kegiatan sahur bersama dengan mereka yang kurang beruntung, hingga bantuan sosial rutin yang dilakukan setiap bulan oleh masing-masing cabang Sriwijaya Air. Kegiatan sosial regular ini berupa bantuan sembako dan disalurkan kepada panti asuhan, panti jompo, maupun fakir miskin lainnya. Sriwijaya Air juga mengulurkan tangan bagi para korban bencana di tanah air, baik di Mentawai maupun Merapi, yang hingga saat ini masih membutuhkan banyak bantuan.

Bencana Merapi belum juga lama berselang, namun gaungnya mulai meredup di sela-sela maraknya kejadian di nusantara tercinta ini. Namun, SERUNAI Nusantara menyadari, bahwa para korban yang telah kehilangan begitu banyak dan kondisi lapangan yang masih tidak kondusif menghambat pulihnya kehidupan di sekitar Gunung Merapi. Sriwijaya Air berupaya membantu tujuan mulia ini dan lebih jauh membantu berjalannya pengiriman bantuan kepada para korban bencana Gunung Merapi yang hingga saat ini masih banyak yang berjuang untuk memulihkan kondisinya.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Yulisa Marga Adjie, District Manager Sriwijaya Air Jakarta Raya, dan seluruh tim Sriwijaya Air. (Iki)