Gunung Merapi masih dalam kondisi stabil, meskipun ada peningkatan aktivitas kegempaan vulkanik pada Februari 2012. Sejauh ini belum terindikasi akan ada erupsi baru. (FOTO: DPA) |
JOGJA--Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) DIY mengingatkan, letusan Gunung Merapi dapat saja terjadi lebih cepat atau saban tahun, bukan secara periodik empat tahunan seperti asumsi masyarakat selama ini. Sementara itu, meski saat ini terjadi peningkatan gempa vulkanik dan multi phase (MP), belum ada indikasi munculnya faktor lain pemicu letusan.
Kepala BPPTK DIY Subandriyo, ditemui di tempat kerjanya, Kamis (16/2/2012) menyatakan, salah bila masyarakat selama ini berasumsi letusan gunung Merapi terjadi secara periodik yakni siklus empat tahunan berkaca pada pengalaman 2006 dan 2010.
Masa isitirahat gunung berapi teraktif di Indonesia ini menurutnya tidak dapat diprediksi. Bisa saja masa isitrahatnya lebih cepat sehingga dapat terjadi letusan hanya dalam jangka waktu dua tahun. “Empat tahun itu hanya data statistik saja kebetulan berselang empat tahun, tidak dapat dikatakan secara periodik, pada 1997 dan 1998 misalnya pernah ada letusan tidak berselang lama. Pernah juga dulu sampai 18 tahun. Sangat tidak terprediksi,” terangnya.
Karena itu pula semua pihak sebaiknya tak lengah terhadap potensi letusan gunung tersebut. Subandriyo mencontohkan, saat ini misalnya terjadi peningkatan gempa MP dan vulkanik dangkal padahal tak berselang lama sejak letusan terakhir 2010. Meski peningkatan aktivitas gempa tersebut masih normal dan belum dapat disimpulkan
sebagai pemicu utama letusan Merapi. Dalam seminggu terakhir tercatat 20-30 kali gempa multi phase dalam sehari yang sebelumnya di bawah lima kali. Sedangkan gempa dangkal sebanyak lima kali sehari dari kondisi sebelumnya yang hanya satu kali dan kadang nyaris tak ada gempa dangkal. Peningkatan gempa tersebut disebabkan adanya tekanan magma di bawah gunung. “Ini baru gejala awal belum dapat disimpulkan akan diakhiri erupsi,” ujar Subandriyo.
Belum Tampak
Sementara faktor lainnya yang ikut memicu terjadinya letusan belum tampak. Misalnya terjadinya tekanan gas lebih tinggi, deformasi atau perubahan bentuk gunung Merapi serta ketinggian asap 500 meter yang dianggap masih normal. Subandriyo membandingkan, pada letusan 2010 deformasi gunung Merapi mencapai tiga meter sedangkan saat ini masih nol atau tidak ada pembengkakan sementara gempa MP pada 2010 mencapai 200 kali dalam sehari.
Biasanya, tekanan gas pemicu erupsi selalu diikuti dengan deformasi tubuh gunung serta pengingkatan CO2 dan HCL serta terjadi gempa vulkanik dalam. Persoalannya saat ini lanjut Subandriyo, pihaknya tak dapat mengetahui lebih jelas komposisi gas lantaran belum menemukan tempat untuk memasang pendeteksi gas di lapangan sulfatara. Kendati demikian masih dapat dilakukan pemantauan suhu dengan alat lain.
Peralatan pemantau gunung Merapi saat ini juga semakin lengkap. Misalnya sudah dipasang 10 statisun seismik untuk memantau kegempaan yang sebelumnya hanya ada lima sampai enam stasiun. Demikian pula peralatan seperti GPS online dan telemetry sebanyak empat stasiun.
Terpisah, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono mengatakan, pengisian kantung magma secara lebih cepat hingga memicu gempa MP, meski magma telah penuh bukan berarti akan erupsi tanpa ada akumulasi dan tekanan gas. “Selama faktor lainnya belum ada, masih normal,” tandasnya.
Kendati demikian, ia juga mengingatkan bahwa potensi bencana erupsi menyambangi DIY bisa lebih besar mengingat mulut gunung saat ini 90 persen mengarah ke selatan atau seputaran Kali Gendol. “Tanpa peneliti yang ngomong pun masyarakat juga sudah tau kondisinya mengarah ke selatan. Saya tidak bisa bohong kalau kemungkinan kondisinya demikian (potensi bencana besar). Meski perkiraan kita mungkin bisa saja salah, misalnya saat erupsi larinya ke tempat lain,” tutur Surono.
Sementara itu Kepala Dinas Pekerjaan Umum DIY Rani Syamsinarsi mengatakan, hingga saat ini 450 KK yang memilih bertahan di kawasan rawan becana (KRB) III belum akan dibuatkan jalur evakuasi serta upaya pengurangan risiko bencana lainnya, terkait peningkatan kondisi Merapi saat ini. “Saat ini kami masih fokus untuk pembangunan hunian tetap. Belum ada untuk jalur evakuasi,” katanya.
SUMBER: Solopos Kamis, 16/2/2012
oleh: Anik Sulistyawati - JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani