Jumat, 11 Februari 2011
Jakarta, KOMPAS - Hingga lebih dari tiga bulan setelah bencana, kondisi korban gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih memprihatinkan. Buruknya manajemen bencana menjadi penyebab lambannya penanganan korban.
Berdasarkan pantauan di lapangan, Selasa (8/2) dan Rabu, kondisi pengungsi di Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, sangat memprihatinkan. Sebagian pengungsi, termasuk anak-anak, masih tinggal di tenda darurat.
Di tempat relokasi pengungsi di Kilometer 37, Kecamatan Pagai Selatan, tenda-tenda kain masih disesaki pengungsi. Ruangan dalam tenda becek karena air hujan tembus ke dalam tenda. Padahal, pengungsi hanya tidur beralaskan anyaman bambu, tripleks, atau kardus.
Kepala Dusun Konik, Desa Malakopak, Januarius mengatakan, dirinya sudah meminta Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai membangunkan hunian sementara untuk warganya. Namun, hingga kini pihaknya belum mendapat kepastian realisasinya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari kebutuhan 1.421 hunian sementara untuk korban bencana tsunami Mentawai, yang terbangun baru 583 unit.
Selain masih bertahan di tenda-tenda darurat, warga juga terancam kekurangan pangan. Seorang pengungsi, Rinto, mengatakan, sejak satu bulan lalu mereka sudah tidak mendapatkan bantuan makanan. Mereka hanya bertahan dengan mengandalkan sisa bantuan bulan lalu.
Rinto menambahkan, sebagian warga memang sudah mulai membuka lahan untuk kebun kopi, pisang, nilam, dan keladi. Namun, tanaman itu membutuhkan waktu minimal empat bulan untuk bisa dipanen.
Kondisi semakin buruk karena pengungsi juga kesulitan mendapatkan air bersih. Fasilitas mandi, cuci, dan kakus yang dibangun oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat penuh dengan kotoran manusia karena warga kesulitan air bersih.
”Kami terpaksa tetap menggunakan WC ini meski sudah penuh dan kotor,” kata Januarius. Buruknya sanitasi membuat banyak warga terserang penyakit menular, seperti campak dan diare.
Parahnya lagi, warga yang sakit tidak bisa segera mendapat pertolongan karena sejak seminggu terakhir tidak ada lagi dokter yang mau tinggal di Posko Induk Palang Merah Indonesia (PMI) di Pulau Pagai Selatan. Menurut Engla, perawat yang berjaga di Posko PMI Pagai Selatan, karena tidak ada dokter, klinik keliling PMI yang biasanya berkeliling ke lokasi-lokasi pengungsian terpaksa dihentikan.
Tidak ada SOP
Sudibyakto, peneliti di Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis, mengatakan, kelambanan penanganan korban bencana di Mentawai menguatkan penelitian lembaganya soal ketidaksiapan daerah dalam menangani bencana. Padahal, otonomi daerah menuntut penanganan bencana didesentralisasi.
”Kami menyimpulkan, pembentukan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) banyak yang dipaksakan. Sumber daya manusia, struktur organisasi, dan kompetensi BPBD masih lemah,” kata Sudibyakto yang juga anggota pengarah BNPB ini.
Menurut Sudibyakto, walaupun sudah berkali-kali mengalami bencana, hingga saat ini Indonesia belum memiliki prosedur operasi standar (SOP) untuk menangani bencana.
”Semestinya BNPB segera menyusun SOP. Minimal SOP untuk tiga jenis bencana, yakni gempa bumi dan tsunami, gunung meletus, serta banjir bandang dan tanah longsor,” kata Sudibyakto.
Menurut dia, BNPB mengalami kendala dalam penyusunan SOP karena adanya ego sektoral antarlembaga. Setiap kementerian atau dinas di daerah belum rela di bawah kendali BNPB ataupun BPBD. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur bahwa pada masa tanggap darurat komando seharusnya berada di tangan BNPB dan BPBD. ”Setiap instansi maunya jalan sendiri-sendiri saat bencana,” ujarnya. Akan tetapi, ketika terjadi masalah seperti di Mentawai, mereka saling lepas tangan.
Dengan adanya SOP, para pihak tidak bisa saling lempar tanggung jawab ataupun tumpang tindih program. ”Sampai sekarang kita belum punya standar siapa sih yang punya tugas mengevakuasi korban saat awal bencana? Siapa yang harus menghitung jumlah korban? Siapa yang bertanggung jawab membangun barak, dan lain-lain,” kata Sudibyakto.
Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief mengatakan, pemerintah akan segera menerbitkan instruksi presiden (inpres) tentang peringatan dini tsunami di Indonesia. Menurut dia, selama ini belum ada aturan yang secara spesifik mengatur soal siapa yang mesti berbuat apa dalam peringatan dini tsunami.
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Yono Reksoprodjo, menambahkan, inpres tersebut juga diharapkan bisa menutup kelemahan UU No 24/2007 soal minimnya perhatian terhadap mitigasi bencana.
Kebijakan anggaran
Selain buruknya manajemen bencana, kebijakan anggaran negara juga tidak mendukung penanggulangan bencana. ”Pemerintah sudah berkomitmen bahwa pengurangan risiko bencana lebih penting dibandingkan tanggap darurat. Konsekuensinya seharusnya anggaran mitigasi lebih besar daripada dana tanggap darurat,” kata Sudibyakto.
Ia mencontohkan, Pemerintah Jepang mengalokasikan dana bencana hingga 5 persen dari total anggaran negara. ”Bandingkan dengan Indonesia yang masih di bawah 0,5 persen dari APBN,” ujarnya.
Dari 5 persen anggaran bencana itu, menurut Sudibyakto, Pemerintah Jepang mengalokasikan 20-30 persen untuk mitigasi bencana serta 5-10 persen untuk dana penelitian dan pengembangan teknologi. Untuk tanggap darurat dialokasikan 30 persen dan sisanya untuk konservasi lingkungan.
”Kebijakan anggaran kita saat ini belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk menanggulangi bencana. Padahal, negeri kita sangat rawan bencana,” katanya. (AIK/INK/IND)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar