expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 23 Desember 2010

SOLIDARITAS: Kearifan Berbagi dari Wasior

Rabu, 22 Desember 2010

Pengungsi bencana banjir bandang menempati  hunian sementara, Wasior, Sejak Desember (20/12).
Anak-anak  tak mendapat susu. Belum lagi nyamuk malaria pada malam hari. Sudah ratusan janji diberikan, tetapi belum satu pun yang menjadi kenyataan. Tetapi, semangat berbagi yang menghapus sekat agama dan suku juga tumbuh di hunian Wasior. (FOTO: KOMPAS/DWI BAYU RADIUS)



Magdalena Ramar (21) membilas pakaian di pengungsian di Desa Ramiki, Distrik Wasior Kota, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, Selasa (21/12). Ia dan 100 keluarga pengungsi lain menikmati air bersih berkat jaringan pipa yang dibangun warga setempat dari sumber air. 

Kakak beradik Agus Sawaki (30) dan Tera Sawaki (32) tak berharap apa pun dengan membangun pipa air bersih dari sumber air sepanjang 100 meter ke hunian sementara Ramuki.

”Kasihan. Kalau tidak dibantu, pengungsi harus mondar-mandir mengangkat air,” ujar Tera. Menurut dia, pada dasarnya setiap manusia punya perasaan kasih sayang. ”Kami semua menjadi korban banjir, tetapi penderitaan pengungsi lebih berat,” kata Tera.

Tak hanya air, kebutuhan lain, seperti sayur- mayur dan buah-buahan, pun dia berikan seadanya.
Tera dan Agus bukan orang berada. Mereka mensyukuri selamat dari bencana banjir bandang, 4 Oktober 2010 pukul 08.30, dengan membantu pengungsi tanpa pamrih.

Meski jauh dari pusat pemerintahan dan hiruk-pikuk kemewahan, rasa kekerabatan dan kekeluargaan di Wasior amat kental. Awalnya, Tera dan beberapa warga melihat para pengungsi kewalahan mencukupi kebutuhan air untuk sehari-hari. Karena itu, mereka langsung turun tangan memasang pipa air, pekan lalu.
”Tidak hanya saya. Masyarakat Desa Ramiki dan di berbagai desa dekat hunian sementara juga membantu para pengungsi,” imbuhnya.

Magdalena menuturkan, truk tangki bantuan pemerintah hanya sekali datang ke Ramiki mengisi tandon air berkapasitas 1.100 liter. Itu pun hanya dua tandon dari 20 tempat penampungan air yang diisi. Dalam sehari, air pun habis.

”Belum pernah ada lagi bantuan dari pemerintah. Terakhir, instalasi listrik baru dipasang hari Minggu lalu setelah dua pekan kami di sini,” katanya.

Menghapus sekat
Semangat berbagi yang menghapus sekat agama dan suku juga tumbuh di hunian sementara Kabo 1, Desa Kabo, Distrik Kabo. Keluarga Aco Sangkala (28), seorang Muslim, dengan senang hati berbagi air bersih atau minyak goreng dengan keluarga Yati Lamomu (37), seorang Kristen.

”Belum ada pejabat yang singgah ke sini. Tetapi, kalau hanya mengharapkan pejabat datang, bisa-bisa kami mati kelaparan,” ujar Yati.

Pernah suatu hari datang nasi kotak kiriman pemerintah setempat. Namun, pengungsi malah gatal-gatal setelah melahap nasi berlauk ikan itu. Bahkan, seorang anak harus dievakuasi ke rumah sakit karena diduga keracunan makanan.

Pengungsi pun jera menerima sumbangan nasi kotak lagi dan memilih mengurus makanan secara mandiri.
Sepekan sesudah mereka menghuni hunian sementara Kabo 1, baru mobil tangki datang mengisi penampung air. Itu pun sudah habis hanya dalam tiga hari. Di Hunian Sementara Kabo 1, Desa Kabo, Kecamatan Kabo, Kabupaten Teluk Wondama, jumlah pengungsi mencapai 300 orang.

Jadilah sejumlah pengungsi mengumpulkan uang untuk sekadar menyewa mobil pengangkut air. Setiap keluarga mengiur Rp 10.000 untuk membeli 400 liter air bersih dari mobil penjual air keliling.

Minyak goreng pun dibagi. Pernah pengungsi mendapatkan bantuan minyak goreng dari mahasiswa di Nabire, Papua. Setiap barak dijatah empat botol. Setelah dibagi-bagi, setiap keluarga hanya mendapatkan dua gelas kecil minyak.

”Tak mengapa, dibagi-bagi. tak ada perbedaan asal daerah, keyakinan, atau warna kulit. Di sini kami sama-sama susah,” kata Thomas.

Hidup di penampungan sungguh bukan hal yang mudah. Mereka baru mendapatkan penerangan tiga minggu kemudian. Saat aliran listrik belum menyala, mereka harus berbagi lampu teplok. Pengungsi yang memiliki lilin dengan rela membagikannya kepada yang lain.

Sebisa mungkin mereka swadaya walau belum bisa mencukupi kebutuhan yang ada. Mereka lelah menanti janji bantuan makanan, air, atau fasilitas kesehatan pemerintah pusat dan daerah yang belum terwujud.
”Anak-anak kami tak mendapat susu. Belum lagi nyamuk malaria pada malam hari. Sudah ratusan janji diberikan, tetapi belum satu pun yang menjadi kenyataan,” tutur Thomas sambil tersenyum kecut.

Luka psikologis belum sepenuhnya pulih. Namun, kearifan lokal mampu mendorong mereka menata kembali kehidupan baru yang lebih baik.

Dari pengeras suara di barak pengungsi Kabo 1 terdengar lagu Natal bernada riang. Jingle bells, jingle bells, jingle all the way...

Sumber: Kompas, 22 Desember 2010

Sabtu, 18 Desember 2010

Pascabencana: Setahun, Korban Merapi Diharap Mandiri

Jumat, 17 Desember 2010


Setelah statusnya diturunkan dari awas menjadi siaga,  warga dari berbagai kota ramai berkunjung  untuk menyaksikan dampak  kerusakan akibat erupsi Merapi. Kerugian akibat erupsi Gunung Merapi di tiga wilayah di provinsi Jawa Tengah ditaksir mencapai 479,32 miliar.
(FOTO: TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALI)

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Sosial Salim Segaf Al'Jufrie mengatakan, korban bencana Gunung Merapi diharapkan bisa mandiri dalam setahun pascaletusan melalui program kelompok usaha bersama.
"Kita usahakan apa kira-kira usaha mereka setelah tiga bulan pascabencana agar terus mandiri. Mudah-mudahan tidak sampai setahun mereka sudah mandiri," kata Mensos seusai ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, Jumat (17/12/2010).

Mensos bersama ratusan pegawai Kementerian Sosial, anggota Karang Taruna, dan Tagana berziarah ke TMP Kalibata dalam rangka Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang puncaknya diperingati pada 20 Desember.

Pemerintah saat ini sedang membangun hunian sementara (huntara) bagi korban bencana Merapi, dan sejalan dengan itu juga direalisasikan dua hal utama terkait perekonomian masyarakat setempat, yaitu program padat karya dan kelompok usaha bersama (Kube).

Menurut Mensos, melalui program Kube diharapkan kemandirian warga korban letusan Merapi bisa tercapai. Sebab, program padat karya hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu warga kembali menganggur. Saat ini sekitar 700 proposal Kube sudah masuk ke Kementerian Sosial dan sedang diteliti di lapangan.

Dalam kesempatan itu, Mensos juga menegaskan, stok pangan bagi korban bencana, baik di Mentawai maupun Wasior tetap tersedia. "Sebenarnya stok cadangan beras cukup, kalaupun kurang di beberapa titik atau mungkin suplai dari provinsi yang kurang lancar. Saya yakin insya Allah cukup, terutama untuk masalah pangan," jelasnya.

Sebelumnya, korban tsunami di Mentawai sempat mengalami kekurangan makanan karena pasokan yang terlambat akibat cuaca buruk sehingga kapal tidak berani melaut.

Kerugian Akibat Erupsi Merapi Rp 479,32 miliar

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng memperkirakan kerugian akibat erupsi Gunung Merapi di tiga wilayah di provinsi ini mencapai 479,32 miliar.

"Kerugian tersebut terjadi di 18 sektor yang kebutuhan dana bagi proses rehabilitasinya akan diajukan ke pemerintah pusat," kata Kepala BPBD Jawa Tengah, Priyanto Jarot Nugroho, Rabu (15/12/2010).

Sejumlah sektor yang mengalami kerusakan akibat erupsi gunung berapi teraktif di dunia ini di antaranya kesehatan, pendidikan, pertanian, pemukiman, dan sebagainya.

Pascabencana Merapi, pemerintah provinsi bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah siap mulai rehabilitasi.

Masa rehabilitasi akan berlangsung mulai Januari-April 2011.

Meski demikian, hingga saat ini masih terdapat ancaman lahar dingin material Merapi yang terjadi bersamaan dengan tingginya curah hujan di kawasan lereng gunung ini.

Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan ancaman banjir lahar masih akan terjadi hingga Februari 2011 mendatang.

Menurut dia, banjir lahar dingin yang terjadi beberapa waktu telah mengalir ketujuh sungai yang ada di lereng Merapi. Sebuah jembatan rusak akibat luapan banjir lahar dingin ini.

Untuk mengantisipasi kerusakan serta dampak yang terjadi akibat banjir lahar dingin ini, pemerintah telah menyiagakan sejumlah alat berat.

Selain itu, untuk jembatan yang rusak juga telah diperoleh bantuan jembatan darurat dari Zeni Tempur Komando Daerah Militer IV/ Diponegoro.

"Jika ada lagi jembatan yang rusak akibat aliran lahar dingin ini, bantuan jembatan darurat dari Zeni Tempur Kodam IV siap digunakan," katanya.

Sumber: Kompas, Antara
Credit foto: Tribun Jogja/Hasan Sakri Ghozali

Minggu, 12 Desember 2010

Gubernur DIY Perpanjang Tanggap Darurat Merapi Hingga 23 Desember

Rabu, 8 Desember 2010 


Sleman (ANTARA News) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X memperpanjang masa tanggap darurat bencana letusan Gunung Merapi selama 14 hari setelah masa tanggap darurat dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berakhir pada 9 Desember.

"Masa tanggap darurat untuk bencana letusan Gunung Merapi ini kami perpanjang selama dua minggu hingga 23 Desember nanti dengan pertimbangan saat ini masih banyak pengungsi yang harus ditangani," katanya di Sleman, Rabu.

Menurut dia, untuk masa tanggap darurat ini nantinya penanganan akan dilakukan Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana masa kerjanya berakhir pada 9 Desember.

"Perpanjangan masa tanggap darurat ini harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi agar dapat berjalan dengan cepat. Saat ini masih banyak pengungsi, masak mau memberi makan pengungsi saja harus lelang dulu," katanya.

Ia mengatakan, saat ini masih banyak yang harus ditangani terkait dengan pengungsi bencana Merapi, baik itu terkait pemenuhan kebutuhan hidup maupun kebutuhan lainnya.

"Pengungsi yang tidak memiliki rumah lagi atau rusak parah kan tetap harus berada di barak sampai nanti mereka dipindahkan ke rumah hunian sementara,  jangan sampai hal ini terputus," katanya.

Sultan mengatakan, selain itu alasan perpanjangan tanggap bencana  juga karena saat ini masih ada ancaman sekunder dari erupsi Gunung Merapi seperti banjir lahar dingin.

"Bahkan ancaman sekunder ini tidak hanya di wilayah Kabupaten Sleman namun juga di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Agar penanganan lebih cepat,  maka masa tanggap darurat ini diperpanjang," katanya.

Bupati Sleman, Sri Purnomo, mengatakan perpanjangan masa tanggap darurat ini akan sangat memudahkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari para pengungsi korban bencana Merapi.

"Dalam masa tanggap darurat ini tidak diperlukan aturan resmi untuk pemenuhan kebutuhan pengungsi,  sehingga dapat dilakukan lebih cepat," katanya.

Minggu, 05 Desember 2010

Serunai Sukses Galang Dana di Sabuga, Bandung

Bandung, 21 November. Siapa bilang menggalang dana mudah? Faktanya memang tidak mudah, apalagi kalau dibandingkan media TV yang begitu mudah menggalang dana besar dalam sekejap.  Tapi, betapapun sulitnya, penggalangan dana hukumnya wajib dilakukan untuk membantu meringangkan beban para korban bencana. Setelah berupaya menggalang dana dengan menggunakan kekuatan media jejaring sosial: Blog, Facebook dan Twitter, selanjutnya  SERUNAI melakukan penggalangan dana secara off-line alias tatap muka langsung dengan masyarakat luas. 

Kesempatan itu datang setelah  sebuah perusahaan besar nasional yang berpusat di Bandung, Jawa Barat yakni, PT Duta Future International-Duta Business School  (DFI-DBS), membuka pintu bagi SERUNAI dengan menyediakan stan di acara tahunan mereka di Gedung Sabuga, ITB, Bandung, Jawa Barat. Peluang luar biasa ini langsung ditangkap. SERUNAI menyiapkan segala yang diperlukan seperti banner, voucher senilai Rp.5000-20.000, fotokopi komik “Kamu Juga Superhero-Galang Bantuan Untuk Merapi-Mentawai,” fotokopi ajakan untuk memberikan donasi, kotak kardus untuk diedarkan ke pengunjung, dan seterusnya.

Pada Minggu, 21 November 2010, relawan SERUNAI dengan berpakaian atasan warna putih dan celana panjang hitam, beraksi dengan semangat gegap gempita. Banner dipasang, meja disiapkan, voucher siap ditawar-tawarkan, kotak kardus ditempeli kertas donasi dan siap diedarkan. Hari itu bertepatan dengan peringatan Ulang Tahun Ketiga DFI-DBS, tak heran bila pengunjungnya mencapai jumah ribuan dan datang dari berbagai provinsi di Jawa dan Luar Jawa.

Maka kerja keras para relawan SERUNAI, yang mendapatkan bantuan dari relawan mahasiswa dari Bandung, hari itu betul-betul patut disyukuri. Semua lebur jadi satu, semuanya semangat mengedarkan kotak kardus, mengedarkan voucher, meneriakkan donasi, berkeliling dari pelataran Gedung Sabuga, ITB, sampai ke tempat-tempat duduk pengunjung. Suasana paling mengharukan adalah ketika slide power point SERUNAI tentang korban bencana di Merapi dan Mentawai ditayangkan di layar besar. Para relawan  pun makin semangat mengedarkan kotak donasi. Karena dilakukan dengan semangat  membantu para korban bencana, maka semua kelelahan  fisik jadi tidak terasa.

 

Momen yang paling membanggakan adalah ketika perwakilan relawan SERUNAI, yang diwakili Ichsan Nurbudi dan Andi Meilisa, didaulat naik panggung untuk menyerahkan piagam penghargaan atau ucapan terima kasih kepada PT DFI-DBS, diwakili Bapak Margono, yang telah memberikan fasilitas tempat dalam acara mereka. Semoga amal baik para petinggi DFI-DBS, Bpk Febrian, Bpk Randu, Bpk Sony, dan Bpk Margono serta ribuan anggotanya yang selalu mengucapkan yel-yel “Semangat Pagi”, mendapatkan balasan  setimpal dari Yang Maha Kuasa.  SEMANGAT PAGI…!

 

*Special thanks to: Jules Herman, Andi Kumalasari, Fitri Rizkiani, Bunda dan rekan-rekan lain yang telah membantu Fundraising SERUNAI di Sabuga, ITB, Bandung.

Minggu, 28 November 2010

Merapi: Perlu Kejelasan Strategi Rencana BNPB

27 November 2010 


YOGYAKARTA, KEDAULATAN RAKYAT- Saat ini fokus pemerintah soal penanganan korban letusan Merapi memasuki tahap recovery dan masih dalam tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, pemerintah pusat perlu memberi batasan kewenangan yang jelas jika nantinya BNPB sudah habis ‘masa kerjanya’. Hal ini penting agar tidak terjadi putus koordinasi dengan pemerintah daerah.


Menurut pakar penanganan bencana, Eko Teguh Paripurno, mulai dari sekarang pemerintah setidaknya sudah membuat strategi rencana. Dengan begitu, saat terjadi pergantian penanganan dari pusat ke daerah bisa berjalan mulus dan tidak mendatangkan masalah baru bagi korban pengungsian. 

Menurutnya, keberadaan BNPB di saat penanganan korban erupsi Merapi pada awalnya memang belum familiar bagi masyarakat. Padahal badan ini cukup vital, apalagi untuk daerah-daerah rawan bencana karena mendapat mandat langsung dari presiden. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan agar BNPB bisa berdiri minimal di setiap provinsi. Namun pada kenyataannya, keberadaan BNPB belum merata di beberapa daerah. Di DIY sendiri, pendirian BNPB sedang dalam proses. 

”Pendirian BNPB di tiap-tiap provinsi di Indonesia sebaiknya berdasarkan skala prioritas daerah, dilihat dari peta rawan bencana. Harapannya, nanti bisa meminimalisir datangnya korban,” ujar Koordinator Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini pada KR, Kamis (25/11). 

Hal senada juga diutarakan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Yogyakarta Lincolin Arsyad yang mengatakan, koordinasi perlu dipertegas lagi. Menurutnya, jangan sampai ada kesan bahwa peran dari berbagai institusi dan LSM selama ini justru lebih aktif dalam membantu pemulihan korban bencana Merapi, ketimbang BNPB. 

Direktur Program MM UGM ini mengatakan, peran BNPB dalam beberapa tahun ke depan sangat penting. Karena itu, perlu diisi orang-orang yang memang memiliki kapasitas, lantaran berhubungan dengan masyarakat luas. ”Kita juga jangan malu belajar dari negeri luar seperti Jepang yang memang sudah terbukti bagus dalam hal penanganan bencana alam,” katanya. 


Rabu, 24 November 2010

Korban Merapi Kehilangan Mata Pencarian dan Kehabisan Biaya

24 November2010 

SLEMAN, KEDAULATAN RAKYAT- Warga korban erupsi Merapi berharap mendapatkan uang jatah hidup (jadup) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab, sejak terjadi bencana mereka kehilangan mata pencarian sehingga tidak mempunyai uang. Seorang warga Turgo Purwobinangun Pakem, Suwung (35) mengaku sangat membutuhkan uang bantuan tersebut. Sebab sejak bencana, ladangnya tidak bisa digarap lantaran masuk zona bahaya. ”Saat erupsi sebelumnya saya mendapatkan uang saku dari pemerintah, namun untuk erupsi tahun ini belum. Padahal kami sangat membutuhkannya untuk keperluan sehari-hari,” ujarnya. 

Hal senada diungkapkan seorang warga lainnya yang mengaku membutuhkan uang tersebut. Warga yang enggan disebutkan namanya ini, mengaku harus menjual ternak miliknya dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan hidup selama berada di pengungsian. 

Sebelumnya, Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu berjanji mengupayakan pengungsi mendapat jadup Rp3.000 perorang per hari di luar jatah makan. Meski demikian, ia berharap pemerintah pusat dan provinsi membantu merealisasikan jadup tersebut karena APBD Sleman terbatas. 

Terkait itu, Koordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), Juli Eko Nugroho, berharap pemerintah turun tangan. Meski tidak terkena secara langsung, namun banyak masyarakat yang saat ini mulai kehabisan logistik untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain bantuan di posko ada yang menumpuk dan hanya boleh diberikan pada pengungsi. ”Banyak masyarakat yang meski tidak mengungsi namun butuh sekali bantuan karena terdampak secara tidak langsung. Mereka seharusnya ikut dihitung sebagai masyarakat yang menerima bantuan,” katanya. 

Menurut Juli, persoalan tersebut harus segera direspons oleh pemerintah. Imbas dari erupsi Merapi memang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang pengungsi. Bahkan masyarakat yang tidak mengungsi juga merasakannya karena praktis kegiatan ekonomi mereka berhenti. 

”Di Muntilan banyak masyarakat yang tidak mengungsi namun saat ini kesulitan logistik karena praktis mereka tidak memiliki pendapatan selama erupsi Merapi. Begitu juga di Sleman, masyarakat yang memfasilitasi pengungsi mandiri saat ini juga kesulitan logistik,” ujar Juli. Saat ini menurut Juli, FPRB tengah melakukan survei dan menyebarkan sekitar 480 kuesioner kepada masyarakat korban gempa. Survei tersebut untuk mencari masukan dari masyarakat seputar lereng Merapi terkait proses recovery

Saat dikonfirmasi, Selasa (23/11), Bupati Sleman Drs H Sri Purnomo berharap kepada pemerintah pusat, jika memang ada program jadup untuk segera direalisasikan. Pasalnya, masyarakat korban Merapi saat ini sangat membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”Kami belum mendapat keterangan resmi maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat soal jadup. Tapi kalau program itu memang ada segera direalisasikan,” katanya. 

Diungkapkan, saat ini masyarakat di lereng Merapi banyak yang kehilangan mata pencaharian dan harta bendanya. Sehingga banyak masyarakat tidak bisa melakukan aktivitas. Untuk itu, jadup nanti harus tepat sasaran bagi masyarakat yang kehilangan harta benda dan lapangan kerja yang tertutup akibat erupsi Merapi.

”Ini segera perlu dipikirkan. Soalnya warga juga punya kebutuhan, seperti untuk membiayai sekolah anak dan lain-lain,” katanya. 

Bupati juga berharap, pemerintah memberikan modal kepada korban Merapi. Hal itu dimaksudkan mendorong atau memotivasi masyarakat untuk berusaha. ”Perlu ada spirit untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Soalnya kalau saat ini masyarakat mau usaha, mereka tidak punya modal,” katanya. (Tim KR)

Senin, 22 November 2010

MERAPI: MUNCUL AWAN PANAS, MASYARAKAT TETAP DIMINTA WASPADA

22 November 2010 

KEDAULATAN RAKYAT, YOGYAKARTA -Aktivitas Gunung Merapi dalam beberapa hari terakhir tergolong landai. Erupsi masih berlangsung dengan intensitas yang terus menurun. Namun status Merapi masih tetap Awas (level IV), karena berdasarkan monitoring sismik masih terekam gempa vulkanik, tremor beruntun maupun awan panas kendati energinya rendah. 

”Tremor dan gempa vulkanik menunjukkan pasokan magma terus terjadi. Hanya saja intensitasnya lebih rendah dibanding saat terjadi erupsi eksplosif beberapa waktu lalu. Adanya tekanan magma juga diindikasikan dengan masih munculnya kolom asap sulfatara meskipun tidak terlalu tinggi,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Dr Surono, Minggu (21/11). 

Berdasarkan pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, hingga Minggu pukul 18.00 terjadi gempa vulkanik sebanyak 6 kali, guguran 6 kali dan gempa tektonik sebanyak 3 kali. Kemarin muncul awan panas pada pukul 17.23 yang didahului gempa tektonik pukul 17.22. Awan panas mereda sekitar pukul 19.00. 

”Awan panas terjadi bersamaan dengan lahar hujan di Kali Senowo. Gempa tektonik belum berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas Merapi, bahkan dari pemantauan kegempaan angkanya relatif lebih rendah. Aktivitas Merapi sekarang relatif flat (landai),” kata Kepala BPPTK Yogyakarta, Drs Subandriyo MSi. 

Bahaya sekunder yang harus terus diwaspadai adalah lahar dingin, yang mengancam warga di bantaran sungai yang berhulu di puncak Merapi. ”Lahar dingin menjadi ancaman serius, apalagi sabo dam yang dibangun sudah penuh material Merapi dan pepohonan yang tumbang akibat diterjang awan panas,” ujar Subandriyo. 

Dari pengamatan visual kemarin, teramati asap putih keabuan bertekanan sedang setinggi 600 meter condong ke arah barat daya. Dari CCTV Deles dan Museum, pukul 00.14 terekam asap 800 meter condong ke barat daya. Selanjutnya pada pukul 04.36, asap putih 600 meter yang juga condong ke barat daya terekam dari CCTV Museum. 

Menurut Surono, indikator penurunan intensitas letusan juga ditunjukkan dengan sudah tidak terjadinya deformasi yang signifikan. Selain itu, kandungan gas pada material yang dikeluarkan dari puncak Merapi juga menunjukkan penurunan. Meski demikian, Surono mengingatkan agar tetap waspada, serta meminta masyarakat bersabar hingga erupsi Merapi benar-benar berhenti. 

”Ibarat pesawat sedang landing, penumpang harus tetap duduk dan tidak melepas seat belt sebelum pesawat benar-benar berhenti,” ujarnya.

(Tim KR)

Rabu, 17 November 2010

SERUNAI Siap Galang Dana di Bandung

Rabu, 17 November 2010

SERUNAI, Jakarta. Bandung? Akhir pekan? Wow... terbayang deh Distro, batagor, bejibun makanan lezat, dan jalan-jalan sambil cuci mata. Tapi nanti dulu, ini tak ada hubungannya dengan pelesiran. Yup, SERUNAI NUSANTARA justru akan mengikuti sebuah perhelatan besar dan sekaligus melakukan kegiatan penggalangan dana untuk membantu korban bencana Merapi-Mentawai di Bandung, Jawa Barat, pada akhir pekan ini. Event ini kemungkinan besar akan dihadiri lebih dari 5000 orang, terlalu sayang untuk dilewatkan.

Jadi, saat ini energi dan pikiran harus difokuskan,  persiapan wajib dimatangkan, waktu ekstra wajib diluangkan dan tenaga mutlak dikerahkan. Sebagai persiapan, kami, beberapa orang pengurus dan relawan segera menyingsingkan lengan baju untuk melahap sup panas, menyendok sambel, menyeruput es kelapa, dan mengunyah kerupuk sambil melakukan rapat saat istirahat makan siang di sebuah warung sederhana favorit di dekat kantor. Tepat sehari sebelum perayaan Idul Adha. 

Persiapan ke Bandung lebih pada urusan teknis. Jadi pembicaraan fokus ke bagaimana pembuatan banner, penyediaan info singkat tentang SERUNAI dalam bentuk flyer, komik kampanye donasi, penyiapan kupon sumbangan dengan nilai dari Rp5000-20.000, dan mengedarkan kotak sumbangan selama acara berlangsung. Ini adalah rapat penuh keringat (karena warungnya panas tanpa AC) dan penuh tawa (karena mendengar ide-ide konyol menyegarkan), tapi berlangsung santai dan penuh semangat. Terra Taihitu, yang mencatat notulen paling senang dengan acara ke Bandung, meskipun kegiatannya bakal melelahkan, “tapi gak apa  dong asal untuk kebaikan,” katanya riang, di tengah berisik suara kerupuk yang dikunyah beberapa rekan. 

Rapat berakhir dengan hasil menggembirakan, seabreg pekerjaan rumah dan berita mengejutkan. Ibu pemilik warung dengan senang hati ketempatan drop box sumbangan yang bisa diisi para pengunjung  warung. Tempat ini biasanya padat pada jam makan siang. Ini salah satu kontribusi yang luar biasa dan tentu saja mengharukan, terutama  bagi Mariski dan Dewi,  dua koordinator SERUNAI yang paling gampang terharu menyaksikan penderitaan orang lain. Bagusnya, keduanya tak puas hanya terharu, tapi juga melanjutkan dengan penggalangan aksi.  “It is a time not just for compassionate words, but compassionate action,” kata mereka. Kutipan  menyentuh ini sungguh menjadi pupuk pengobar semangat bagi kami.

Simpati dan Dukungan untuk SERUNAI
Jujur saja, kami tak menyangka  SERUNAI bakal sampai sejauh ini. Dari sekadar cetusan prihatin di situs microblogging Twitter, lalu berlanjut ke rencana aksi pada 1 November 2010, semuanya mengalir begitu saja. Lalu, jadilah nama SERUNAI NUSANTARA dipilih dari berbagai opsi melalui komunikasi intensif di Facebook. SERUNAI disepakati sebagai organisasi nonprofit yang semua penggiatnya bekerja sukarela sebagai relawan. Semua jadi lebih mudah, karena teknologi saat ini sangat memudahkan komunikasi para penggiat SERUNAI, yang umumnya masih bekerja di sejumlah lembaga bantuan  internasional dan kantornya berlainan.

Dukungan terhadap SERUNAI juga sangat mencengangkan. Antusiasme dan perhatian luar biasa terlihat dari sejumlah pertanyaan tentang SERUNAI. Beberapa kami pilih dan kutipkan di sini:  “Apa sih yang dilakukan para aktivis SERUNAI NUSANTARA? Apa saja aktivitas mereka? Bagaimana penggalangan dana dilakukan? Sejauh mana berkolaborasi dengan LSM lokal? Apakah sudah dilakukan pemetaan lokasi dan kebutuhan untuk target yang akan dibantu? Bolehkah bergabung sebagai relawan?”

Wow, sungguh kami takjub mendengar berderet pertanyaan antusias dari rekan-rekan seprofesi, baik di kantor masing-masing, maupun dari sekadar simpatisan yang menyatakan dukungannya via situs jejaring pertemanan Facebook. Saking takjubnya, kami sampai bingung menjawabnya. 

Ketika kami, para pengurus dan relawan melakukan rapat pertama kali pada awal November lalu, tak terbayang kalau simpati, harapan dan dukungan terhadap SERUNAI bakal mengalir begitu dahsyat. Sejak awal kami menyadari, bukan pekerjaan mudah menggalang bantuan bencana di sela-sela pekerjaan kantor yang begitu padat. Tapi simpati dan dukungan dari banyak rekan membuat kami bersemangat…malah sangat bersemangat. Beban pekerjaan kantor jelas tak sebanding dengan beban kesulitan hidup yang dialami oleh hampir setengah juta pengungsi bencana Merapi atau ribuan pengungsi akibat tsunami di Mentawai dan longsor di Wasior, Papua. Menggalang bantuan sambil bekerja jelas butuh taktik dan strategi khusus. Puji syukur kepada Tuhan, terbukti kami bisa melakukannya. 

Bencana demi bencana telah menyadarkan kita, bahwa negeri tercinta Indonesia memang rawan dengan beragam potensi bencana alam. Faktanya, Kegiatan yang dilakukan SERUNAI hanyalah setitik noktah dibanding kontribusi organisasi besar lain. Tapi sekecil apa pun ini adalah kontribusi kami sebagai anak bangsa yang punya kepedulian terhadap saudara setanah air yang sedang tertimpa kemalangan. Kami berbesar hati menyaksikan banyak sekali kelompok di luar pemerintahan yang membentuk organisasi bantuan dan langsung bergerak. Semakin banyak kelompok seperti ini tentu saja semakin baik. 

Bagi SERUNAI, Merapi-Mentawai adalah pengalaman luar biasa yang bisa dijadikan pelajaran untuk menghadapi potensi bencana alam berikutnya di tanah air. Maksudnya?  Dengan izin Tuhan, kami tak akan berhenti sampai di sini dan bertekad akan terus melanjutkan SERUNAI! Dukung terus dan doakan ya…

Selasa, 16 November 2010

Tsunami Mentawai: Titik Relokasi Terhadang Hutan Lindung, Pengungsi 7.830 orang

Selasa, 16 November 2010

PADANG, KOMPAS.com - Salah satu titik relokasi korban bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang berada di kilometer 27 Pulau Pagai Selatan terhadang status hutan lindung. Wakil Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim mengungkapkan hal tersebut di Auditorium Gubernuran Sumatera Barat, Senin (15/11/2010) malam pada saat pemaparan kondisi penanganan bencana tsunami Mentawai di hadapan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menko Kesra Agung Laksono.

"Lokasi berada dalam hutan lindung sehingga tidak direkomendasi. Perlu alih fungsi dari Menteri Kehutanan," kata Muslim.
Ia menambahkan, saat ini titik relokasi yang sudah ditetapkan di Pulau Pagai Utara berada di kilometer 4. Adapun di Pulau Pagai Selatan berada di kilometer 37 dan 46, serta di kilometer 27 yang terhadang status hutan lindung.

Menanggapi hal itu Agung Laksono mengatakan seluruh syarat untuk mengalihfungsikan kawasan hutan lindung perlu terlebih dahulu dipenuhi. Hal itu untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar di masa selanjutnya.

Ia menambahkan, khusus terhadap operasional dua perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yakni PT Minas Pagai Lumber dan PT Salaki Summa Sejahtera di Kepulauan Mentawai adalah persoalan berbeda. Namun terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Mentawai yang lebih 70 persen di antaranya masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Agung menyebutkan momentum bencana tsunami dan fakta masih beroperasinya perusahaan-perusahaan pemegang HPH sejak puluhan tahun lalu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

"Momen ini digunakan tidak saja membangun secara fisik, tetapi juga pembangunan nonfisik. Pemberdayaan masyarakatnya supaya mereka merasakan pembangunan dengan baik," kata Agung sembari menambahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana bakal mengucurkan dana hingga Rp 25 miliar untuk pembangunan 1.500 unit hunian sementara di Mentawai.  

Tim KLH Mulai Survei Mentawai
Sementara itu, tim dari Kementerian Lingkungan Hidup mulai melakukan pengambilan sampel di sejumlah titik di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.

Salah satunya adalah sampel kualitas air yang akan digunakan pengungsi di tempat relokasi pengungsi bencana tsunami. Pengambilan sampel mulai dilakukan Senin (15/11/2010) di Pulau Pagai Utara.

Menurut Ketua Tim Muslihudin, tim dibagi menjadi tiga kelompok kecil. Tim pertama mengambil sampel air di tempat relokasi, tim kedua menyurvei sejumlah variabel di Pasapuat, dan tim ketiga melihat kebiasaan pengelolaan sampah dan kearifan lokal pada masyarakat.

Dari posko di Kecamatan Sikakap, tim berangkat pagi ini menggunakan perjalanan darat. Survei akan dilakukan selama beberapa hari.

Hasil kajian, sebagaimana dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta beberapa waktu lalu, akan digunakan sebagai salah satu bahan penyusunan tata ruang dan program rehabilitasi di daerah bencana tsunami di Mentawai.

Di samping Pagai Utara, tim juga akan menyurvei sejumlah titik di Pulau Pagai Selatan.

13 Jenazah Kembali Ditemukan
Pascapencarian korban meninggal dihentikan, jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar, terus bertambah.

Koordinator Posko Tanggap Darurat BPBD Mentawai Paulinus Sabelep, mengatakan pada Jumat lalu (12/11), bahwa telah ditemukan 13 jenazah lagi, hingga korban meninggal menjadi 461 orang.

Ia menjelaskan, 13 jenazah yang sudah sulit dikenali itu ditemukan oleh warga di Dusun Eruk Pasaboat dan Dusun Puroarougat, Desa Malakopak Pagai Selatan.

"Ada 10 jenazah yang sudah ditemukan warga Dusun Eruk Pasaboat, dan tiga jenazah lagi ditemukan warga Puroaroagat," katanya, Jumat (12/11/2010).

Jenazah-jenazah tersebut sudah sulit dikenali sehingga langsung dimakamkan oleh warga setempat.

Menurut Paulinus, dengan ditemukannya 13 jenazah itu, maka hingga kini warga yang masih belum ditemukan sebanyak 43 orang.

Ia mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan identifikasi korban meninggal secara lengkap karena masih perlu adanya koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Sementara korban luka-luka yang masih dirawat di rumah sakit darurat dan Puskesmas Sikakap hanya tinggal 14 orang dengan keadaan luka berat.

"Di Puskesmas Sikakap masih ada 14 pasien luka berat, pasien dengan luka ringan tidak ada. Dan ada sebanyak 13 korban luka-luka telah kita rujuk ke rumah Sakit M Djamil Padang," katanya.

Selain itu, lanjut Paulinus, sebanyak 7.830 orang masih bertahan di tempat-tempat pengungsian.

Berikut data korban dari BPBD Mentawai:

Korban tewas: 461 orang
Korban hilang: 43 orang
Luka berat: 14 orang
Luka ringan: - orang
Pengungsi: 7.830 orang (1.074 KK)

Perumahan:
Rusak berat: 554 unit
Rusak ringan: 216 unit

Sekolah:
Rusak berat: 6 unit

Fasilitas umum:
Resort: 2 Unit (Resort Macaroni dan Katiet)
Rumah ibadah: 7 unit (rusak berat)
Jembatan: 7unit (rusak berat)
Jalan: 8 kilometer (rusak berat)

Kapal pesiar:
Rusak berat: 1 unit (terbakar)
Rusak ringan: 1 unit


Laporan wartawan KOMPAS Ingki Rinaldi, FX. Laksana Agung S

Senin, 15 November 2010

Merapi: Ekonomi Lumpuh, Sektor Pertanian Hancur

Senin, 15 November 2010


Yogyakarta, Kompas - Meletusnya Gunung Merapi melumpuhkan berbagai sektor, baik pariwisata, perhotelan, pertanian, peternakan, maupun perikanan. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Dampak ekonomi letusan Merapi di Jawa Tengah antara lain adalah lumpuhnya wisata Candi Borobudur. Kerugian riil belum terdata seluruhnya, tetapi yang lebih penting Borobudur, yang tertutup abu vulkanik cukup parah, perlu penanganan cepat.  Hancurnya bisnis hotel terparah terjadi di obyek wisata Kaliurang, Sleman, DIY. Ketua Asosiasi Perhotelan Kaliurang Christian Awuy menuturkan, ada 280 hotel dan 120 rumah makan di kawasan wisata Kaliurang tutup sejak 26 Oktober.

Pertanian
Letusan Merapi merusak sektor pertanian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kerugian diperkirakan Rp 247,3 miliar. Tanaman rusak terdiri dari padi, buah salak, dan sayuran.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Magelang Wijayanti mengatakan, kerusakan terjadi pada sebagian besar tanaman di 12 kecamatan karena tertutup abu vulkanik. ”Nilai kerugian terbesar terjadi pada tanaman salak, Rp 84,01 miliar. Nilai kerugian ini termasuk kerugian akibat ekspor salak yang tertunda karena 65 persen tanaman salak rusak dan gagal panen,” katanya.

Hal yang sama dialami Kabupaten Sleman. Salak pondoh yang telah mendunia porak poranda oleh abu vulkanik. Dari 2.000 hektar kebun salak, 1.400 hektar di antaranya rusak berat.
Setiap hektar ditanami sekitar 2.000 rumpun salak dan setiap rumpun menghasilkan 10 kilogram salak per tahun. Jika dihitung dengan harga termurah Rp 5.000 per kg, maka untuk 1.400 ha kerugian mencapai Rp 140 miliar. Demikian Riyadi Martoyo, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman.

Kerusakan juga terjadi pada 201 ha hutan rakyat, 309 ha hutan negara, dan 357 ha areal perkebunan. ”Erupsi Merapi menghabiskan tanaman seperti kopi, kelapa, lada, kakao, dan cengkeh, terutama di dusun-dusun di tepi Kali Gendol. Kami perkirakan kerugian sektor perkebunan mencapai 1,5-2 kali lipat dari yang kini terdata,” kata Mashudi, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman.

Peternakan
Dampak di Kabupaten Sleman, DIY, dan Kabupaten Boyolali serta Klaten, Jawa Tengah, sebagai penghasil susu perah juga memprihatinkan. Ada 1.548 sapi perah di Kabupaten Sleman yang mati. ”Dua koperasi susu, Usaha Peternakan dan Pemerahan (UPP) Kaliurang dan UPP Sarana Makmur sudah tiga minggu tutup. Uang yang hilang dari potensi penjualan susu sapi sekitar Rp 112 juta per hari,” kata Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman Suwandi Azis.

Di Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali, menurut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah Witono, 62.999 sapi perah, sapi potong, dan kerbau terancam produksinya. Banyak sapi potong yang kurus dan harga jualnya merosot sampai Rp 3 juta karena sulit mencari makanan ternak.

Di Kabupaten Magelang, menurut Tri Agung, Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Magelang, ada 125.706 ekor ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) terkena dampak letusan Merapi. Di sektor perikanan, luas kolam ikan yang terkena dampak 174,77 ha dan kolam mina padi 2.135,5 ha.

Kerugian perikanan di Kabupaten Sleman Rp 11,5 miliar. Kolam ikan milik rakyat yang menyebar di Kecamatan Ngemplak hampir seluruhnya terairi dari Kali Kuning yang berhulu di Gunung Merapi. Kecamatan Ngemplak dan Cangkringan adalah pemasok 80 persen kebutuhan benih ikan dan 60 persen ikan konsumsi di DI Yogyakarta. Karena itu, kebutuhan ikan di DIY terganggu.

”Namun, saya optimistis dalam satu-dua bulan setelah erupsi Merapi berakhir, masalah di bidang perikanan akan segera teratasi. Begitu belerang tidak ada lagi di Kali Kuning, kolam-kolam akan aman,” kata Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman Suparmono.

Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Sabtu, menyatakan, letusan Merapi yang berulang sejak 26 Oktober bukan letusan seperti biasa. Karena itu, dampaknya tidak terduga. Belajar dari peristiwa ini, penanganan dampak letusan Merapi untuk masa mendatang diharapkan tidak serba darurat seperti saat ini. Sultan memberi contoh, Kabupaten Sleman yang menerima dampak terparah harus berupaya lagi dari nol. 

(PRA/GAL/WIE/EGI/ILO/ENY/ WHO/ARA/MDN)


Minggu, 14 November 2010

Cari Korban, Tim SAR Sisir Dusun: Lahar Dingin Mengancam

Minggu, 14 November 2010 

SLEMAN, KOMPAS.com — Tim pencarian dan penyelamatan, Tentara Nasional Indonesia, polisi, dan relawan, Minggu (14/11/2010), akan melakukan penyisiran di kawasan dusun sekitar Kali Gendol, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mencari korban letusan awan panas Gunung Merapi.
    
Menurut keterangan dari Tim SAR Daerah Istimewa Yogyakarta, tim akan melakukan penyisiran di dusun-dusun di sekitar kawasan Kali Gendol untuk mencari korban yang kemungkinan masih berada di daerah tersebut.
    
Korban meninggal dunia dan luka bakar awan panas vulkanik gunung yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Jumat (5/11/2010) dini hari itu mayoritas berasal dari dusun dekat Kali Gendol.
   
Tim gabungan evakuasi dalam melakukan penyisiran menggunakan dua kendaraan Hugglands milik Palang Merah Indonesia (PMI) dan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
   
Korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibawa ke Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta pada Jumat hingga Sabtu (13/11/2010) pukul 21.30 WIB tercatat 168 orang.
   
Sebanyak 168 korban yang meninggal dunia itu terdiri atas 37 korban meninggal saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 131 korban meninggal pada erupsi pada 5 November 2010.

Sementara, harian Republika melaporkan bahwa hujan mengguyur puncak Gunung Merapi pada Ahad (14/11) pagi ini. Relawan dan warga diharapkan waspada terhadap terjadinya aliran lahar dingin yang akan mengaliri sungai-sungai berhulu di Merapi.

"Terjadi aliran diiringi material," ujar percakapan di HT dengan gelombang informasi soal Merapi.

Sungai-sungai berhulu di Merapi seperti Kali Gendol, Kali Boyong, Kali Kuning, Kali Krasak, Kali Code, dan Kali Apu. Petugas informasi Merapi pun mengingatkan agar para warga, relawan dan wartawan waspada terhadap aliran lahar dingin. Aliran lahar dingin itu, menurut petugas tersebut, ditandai dengan adanya bau belerang.

Sedangkan batas aman aliran lahar dingin tersebut, ujar sang petugas, ada di kisaran 500 meter. "Jarak aman masih di 500 meter. Harap waspada,"tuturnya. Petugas pun mengimbau agar warga yang berada di pinggir kali menggunakan masker.

Selain itu, menurut pantauan HT, terdapat kepulan asap vulkanik coklat dan putih yang membumbung ke arah vertikal. Sementara angin sendiri, bergerak ke timur laut dan cenderung ke barat merapi.

Sementara, kegiatan evakuasi warga yang diduga tewas akibat bencana masih dilakukan oleh TNI Angkatan Darat (Kopasus), tim Search and Rescue (SAR), PMI, Wanadri, dan relawan lainnya di Desa Ngempringan, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Tim kopasus dan PMI kembali menggunakan alat berat haglun untuk menerobos medan evakuasi. Sayangnya, pencarian yang dilakukan dari pukul 07.00 hingga pukul 10.00 WIB itu tidak menemukan satu pun korban yang diduga masih tertimbun abu vulkanik.

Salah satu warga Ngempringan, Slamet, mengatakan, masih terdapat tujuh orang tetangganya yang diduga hilang. "Ada tujuh. Pak Proyatmojo, Mbok Sisum Mitrowiyono, Dalini, Mbah Muh Haji Wiyono, Murtini, Mbok Si Pon, Parmi," tutur Slamet di lokasi. Menurutnya, tujuh orang tersebut tertinggal setelah letusan besar Merapi pada Kamis (4/11) lalu.

Sabtu, 13 November 2010

Indonesia Volcano Death Toll Rises to 240


November 13, 2010


JAKARTA GLOBE, Jakarta. Mount Merapi volcano in Central Java Province, Indonesia, has killed 240 people since it began erupting late last month, with more than 390,000 people in makeshift camps, an official said.

"The Merapi death toll has reached 240 people. And about 390,000 people have fled their homes," a disaster management official said on Saturday, updating the previous official toll of 206.

The official, who declined to be named, said the toll had risen after rescuers recovered more bodies in the central Java area where the volcano is located.

That figure continues to rise as people with severe burns die from their wounds and officials count those who have died from respiratory problems, heart attacks and other illnesses related to the blasts.

In addition, search operations continue for bodies buried under a thick layer of ash that shrouds whole villages. On Friday, soldiers pulled eight more bodies from around one hard-hit village, said Waluyo Rahardjo, who works for the search and rescue agency.

Evacuees Sign Waivers to Return Home
Despite being advised by volunteers not to do so, evacuees in Boyolali and Klaten, Central Java, left the evacuation shelters after Mount Merapi showed a decrease in activity.

About 600 evacuees left two shelters in Boyolali on Friday to return to their homes in the Selo and Cepogo subdistricts.

Volunteers at the shelters tried to persuade them to stay, but the evacuees were insistent. Those who wanted to leave were eventually made to sign a statement saying that they were leaving the shelters voluntarily.

“We will still monitor them and give them food aid because food is still scarce at the mountain slopes,” a volunteer told Metro TV.

Another shelter located in Tlogo village, Prambanan subdistrict, Klaten, was almost empty. Most of the 1,200 evacuees had returned to their homes, arguing that their cattle and fields were deserted. Officials at the shelter said that the evacuees could not be persuaded to stay so they had no choice but to let them leave.

In Bumiharjo village, farmers started working on their fields and feeding their cattle, convinced that Merapi would not erupt again.

Volcanic ash that has been emanating from Mount Merapi since its deadly eruption last week slowed on Friday, but experts warned that it remains dangerous.

However, the Volcano Investigation and Technology Development Institution (BPPTK) and Volcanology and Geological Disaster Mitigation Agency (PVMBG) have not yet lowered the volcano's status from the current standby or danger levels.

Officials warned residents that less ash did not mean that the volcano was already safe.

“The activity of Merapi is still high, but the intensity of eruptions is reduced now. People should still be careful. Merapi is still on high alert,'' said state volcanologist Surono.