Jumat, 31 Desember 2010
Jakarta, Kompas - Bencana hidrometeorologi yang dipicu cuaca ekstrem pada 2011 berpotensi meningkat. Curah hujan Indonesia pada Januari hingga Maret 2011 diperkirakan melebihi normal dan triwulan I-2011 diperkirakan menjadi masa potensi bencana tertinggi.
Hal itu dinyatakan Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Kamis (30/12). ”Perkiraan curah hujan di atas normal pada Januari hingga Maret 2011 telah disampaikan The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); juga Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology,” kata Sutopo.
Pada 2010, terdapat 644 bencana dan 517 bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi. Bojonegoro, Cilacap, Kota Samarinda, dan Bandung adalah daerah dengan frekuensi bencana tertinggi di Indonesia dengan jenis bencana yang juga didominasi bencana hidrometeorologi.
Pada 2011, fenomena cuaca La Nina diperkuat kenaikan suhu perairan laut di Indonesia dan angin musim timuran akan menambah massa uap air di udara. ”Itu semua mempermudah terbentuknya awan. Semakin banyak hujan yang terjadi, meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan angin topan,” kata Sutopo.
Risiko bencana
Pemetaan BNPB menyatakan, satu dari setiap tiga desa di Indonesia yang totalnya berjumlah 73.000 desa berada di lokasi yang rawan bencana. Sejumlah 176 kabupaten/kota di Indonesia berisiko tinggi terkena bencana banjir. Sejumlah 154 kabupaten/kota berisiko tanah longsor dan 153 kabupaten/kota berisiko kekeringan.
”Di luar itu, ada pula bencana geologis yang tidak pernah bisa diprediksi manusia, yaitu bencana seperti gempa bumi, tsunami, ataupun letusan gunung berapi,” kata Sutopo. ”Pemerintah, swasta, ataupun masyarakat harus mewaspadai risiko bencana di wilayahnya,” ungkap Sutopo.
Kementerian Lingkungan Hidup telah menerbitkan peta rawan dan risiko longsor-banjir. Peta itu sudah dikirimkan kepada setiap pemerintah daerah. Sutopo menyebutkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ataupun Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun memiliki peta risiko bencana. Namun, tidak semua pemerintah daerah merespons peta kerentanan dan risiko bencana yang telah ada.
”Pada 2011, BNPB akan menyusun peta risiko bencana tingkat provinsi yang terintegrasi,” kata Sutopo soal antisipasi bencana ke depan.
Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno menyatakan, informasi awal potensi bencana seharusnya direspons pemerintah daerah. ”Bencana hidrometeorologi bisa diprediksi dan daerah berisiko tinggi bisa diperkirakan. Sektor apa saja yang akan terdampak pun bisa diidentifikasi. Instansi sektoral di pemerintah daerah, mulai dari pendidikan, perekonomian, kesehatan, hingga infrastruktur seharusnya bisa bersiap sejak awal,” kata Eko ketika dihubungi, Kamis.
Eko berharap pemerintah daerah menyiapkan anggaran penanggulangan bencana di setiap sektor. Pemerintah daerah juga harus mulai mengarahkan kegiatan pembangunan kepada upaya menurunkan kerentanan dan risiko bencana.
”Pola pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam saat ini justru menambah kerentanan, bahkan menimbulkan ancaman baru. Mulai dari pertambangan yang serampangan hingga monokulturisasi hutan yang meningkatkan potensi dan risiko banjir. Kalimantan adalah contoh klasik bagaimana pertambangan dan perkebunan sawit menimbulkan banjir yang berulang. Sudah saatnya semua lembaga pemerintah berhenti berpikir sektoral dan memulai upaya menurunkan risiko dan kerentanan bencana,” ungkap Eko. (ROW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar