Jumat, 12 November 2010
Bencana Merapi: Sebanyak 330 Pengungsi Alami Gangguan Psikologis
Kamis, 11 November 2010
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Sebanyak 330 pengungsi korban bencana Gunung Merapi yang ditampung di Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami gangguan psikologis.
"Hingga 10 November 2010 sebanyak 330 pengungsi mengalami gangguan psikologis, dan jumlahnya masih bisa bertambah, karena data terakhir masih dihitung," kata koordinator Bagian Psikologi Posko Pengungsi Maguwoharjo Retno Kumolohadi, di Sleman, Kamis.
Ia mengatakan dari jumlah tersebut, 132 pengungsi di antaranya mengalami kecemasan, psikosomatis 107 orang, psikosisresidual 39 orang, dan insomnia 50 orang.
"Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan data pada Selasa (9/11) lalu sebanyak 270 orang. Kemungkinan jumlah tersebut masih bertambah, karena tidak ada kepastian kapan pengungsi diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing," katanya.
Menurut dia, gangguan psikologis yang dialami mereka antara lain karena pengungsi merasa asing dengan lingkungan tempat penampungan pengungsi. "Mereka bahkan selalu mengkhawatirkan ternak, rumah, dan harta benda lain yang tidak dibawa ke pengungsian," katanya.
Retno yang juga pengajar di Pasca Sarjana Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengatakan para pengungsi memerlukan waktu untuk adaptasi dengan suasana di pengungsian.
"Ada beberapa laporan menyebutkan mereka terlihat sempat bersitegang dengan pengungsi lain. Hal tersebut juga dapat menjadi faktor pemicu stres," katanya.
Retno mengatakan semakin lama waktu yang dihabiskan di pengungsian, berbanding lurus dengan jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis.
Sementara itu, data per 9 November 2010 tercatat jumlah pengungsi sebanyak 94.615 orang yang menyebar hingga ke wilayah kabupaten/Kota tetangga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Di wilayah Sleman sendiri tercatat 80.155 orang, dan di luar wilayah Kabupaten Sleman tetapi masih di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta (DIY) sebanyak 14.460 rang," kata Komandan Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Sleman Widi Sutikno.
Menurut dia, dari ratusan titik lokasi pengungsi di Sleman terdapat empat titik pengelolaan pengungsi terbesar yakni Stadion Maguwoharjo dengan Ketua Pengelola Camat Pakem Budiharjo, Gedung Youth Center di Kecamatan Mlati dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Pemerintahan Desa Joko Supriyanto, GOR Sleman dengan Ketua Pengelola Kabag Administrasi dan Pengendalian Pembangunan Agung Armawanta serta Masjid Agung Sleman dan sekitarnya dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Jazim Sumirat.
"Di luar keempat tempat itu, semua camat di 14 kecamatan di luar tiga wilayah bencana yakni Turi, Pakem dan Cangkringan, menjadi ketua pengelola pengungsi di wilayah masing-masing," katanya.
Ia mengatakan para ketua pengelola tempat pengungsian tersebut bertanggung jawab atas pelaksanaan koordinasi dan pengendalian tempat pengungsi yang di dalamnya menyangkut sarana prasarana, kesehatan, relawan dan dapur umum.
"Pengungsi dari warga Sleman yang berada di luar wilayah kabupaten ini diketuai Dwi Supriyanto yang bertugas memantau pengungsi, tempat pengungsian, data pengungsi, serta kebutuhan logistik, sarana dan prasarana serta kesehatan pengungsi, dan mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan Pemerintah Provinsi DIY, pemerintah kabupaten/kota setempat, serta tempat pengungsian," katanya.
Merapi: Babak Baru, Tabiat Lama
Pada edisi Jumat (12/11), harian Kompas menulis panjang lebar tentang Merapi, bahwa skala dan pola letusan eksplosif Gunung Merapi di Yogyakarta tahun ini meninggalkan kelaziman erupsi Merapi setidaknya selama 138 tahun terakhir.
Pola erupsi Merapi selama ini dikenal ”kalem”, tidak meledak-ledak, dengan pembentukan kubah lava yang longsor menjadi guguran ataupun luncuran awan panas skala kecil hingga menengah (terjauh 8 kilometer).
Semua terentak saat Gunung Merapi meletus dahsyat pada 26 Oktober 2010. Tiga dentuman hebat disertai gelombang luncuran awan panas bersuhu 600 derajat celsius berdurasi maksimal 33 menit meluncur sejauh 8 kilometer, meluluhlantakkan segala yang dilintasinya.
Kemudian ternyata rangkaian letusan lain susul-menyusul terjadi, yang memuncak (hingga saat ini) pada erupsi tiada henti sejak 3 November hingga 7 November. Guguran material dan awan panas terjadi tiada putus diselingi gemuruh yang terdengar hingga radius 30 kilometer.
Hujan pasir menjangkau radius 15 kilometer dan hujan abu merembet hingga Jawa Barat. Letusan pada 4 November bahkan menciptakan kolom asap setinggi 8 kilometer dari puncak. Rangkaian letusan menciptakan kawah berdiameter 400 meter di sisi selatan.
Jarak luncur awan panas terjauh selama periode lima hari erupsi itu tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta. Korban jiwa melonjak dari 36 orang pada letusan 26 Oktober menjadi 151 orang hingga Selasa (9/11).
Pada rangkaian erupsi itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dua kali menaikkan radius bahaya primer dari semula 10 km menjadi 15 km (3 November) pukul 15.55 dan dari 15 km menjadi 20 km pada pukul 01.00 (5 November).
Badan Geologi memperkirakan, volume material vulkanik yang dimuntahkan Merapi selama 26 Oktober-9 November mencapai 140 juta meter kubik. Jumlah itu 10 kali lebih besar dari volume erupsi 2006.
Benarkah Merapi meninggalkan kelaziman erupsi efusif yang dikenal warga?
Berubah-ubah
Jika kita membuka berbagai referensi, sejak pertama muncul sebagai gunung pada sekitar 60.000 tahun lalu, Merapi sebenarnya tidak memiliki satu pola letusan sama. Ia berubah-ubah sepanjang periode sejarah, dari model ekstrusi lava secara efusif hingga erupsi eksplosif. Mulai abad ke-19, tren eksplosif semakin besar. Mulai abad ke-20, Merapi memasuki interval aktivitas rendah.
Para peneliti vulkanologi jauh-jauh hari telah memperkirakan rangkaian letusan efusif (luncuran) yang seolah menjadi ciri khas Merapi sejak tahun 1900-an hanyalah kondisi sementara. Letusan Merapi yang eksplosif akan terjadi lagi. Hal itu menjadi kesimpulan penelitian para vulkanolog dalam dan luar negeri yang terangkum dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi 100 terbitan tahun 2000 dengan laporan utama berjudul ”10.000 Years of Explosive Eruptions Merapi Volcano, Central Java: Archaelogical and Modern Implications”. Data geologi telah menunjukkan hal itu.
Tahun 1800-1900-an, aktivitas Merapi direkam cukup lengkap oleh naturalis Junghun, vulkanolog Bemmellen, Hartmann, hingga Neumann van Padang. Sayangnya, informasi dan catatan dokumentasi terkait perilaku Merapi tersebar dan tidak terdokumentasi baik. Padahal, catatan lengkap dari abad ke abad itu penting untuk keperluan riset, pemantauan lebih lanjut, dan terutama untuk penyusunan program mitigasi.
Dampak letusan eksplosif akan sangat fatal mengingat kepadatan penduduk di lereng Merapi sekarang. Ancaman bahaya semakin besar karena hingga kini tidak ada satu metode pasti yang bisa digunakan untuk memprediksi kapan letusan besar muncul. Sementara itu, masyarakat yang telanjur terbiasa dengan pola erupsi efusif tidak mengetahui ancaman yang mereka hadapi.
Sedahsyat apa pun dampak letusan Merapi, masyarakat tetap akan kembali menghuni lerengnya. Ada ikatan sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak bisa lepas. Antropolog Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, masyarakat Merapi menyikapi alam dengan mencoba memahami gejalanya. Dalam posisi inilah, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan berkembang dalam upaya menjelaskan berbagai gejala alam.
Kirbani Brotopuspito, Guru Besar Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pemantauan Merapi harus diperkuat. Selain badan vulkanologi, universitas yang memiliki lembaga riset juga perlu membantu. (ENG/DOT)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar