expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 07 November 2010

Rakyat Tulus Berbagi

Minggu, 7 November 2010 | 05:26 WIB

Sebagian warga Dusun Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memilih tinggal di atas truk daripada di barak pengungsian sebagaimana ditemui di depan Balai Desa Argomulyo, Kamis (4/11). Mereka lebih suka tinggal di atas truk karena bisa sewaktu-waktu menyelamatkan diri jika letusan Merapi mengancam keselamatan. (Kompas. Wawan H Prabowo)
KOMPAS.com - Hampir sepekan Mulyadi (52), warga Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Jawa Tengah, ini berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.

Upaya Mulyadi membantu para pengungsi tak berhenti di situ. Bersama tiga tetangganya, yang juga menyediakan rumahnya, saban hari ia menyiapkan makanan bagi sekitar 250 orang pengungsi. Sabtu (6/11/2010) pagi, rumah Pak Guru, panggilan Mulyadi, mulai dari teras, ruang tamu, ruang belakang, hingga kamar tidur penuh dengan para pengungsi.

Karena menampung begitu banyak pengungsi, rumah seukuran 250 meter persegi itu menjadi ”milik” bersama. Mulyadi harus siap hidup berdampingan dengan orang lain, yang tadinya tidak pernah ia kenal.
Sudah pasti risikonya, ia juga harus siap dengan sejumlah perbedaan kebiasaan. Walau kemudian gagang pintu kamar mandinya serta keran dispensernya rusak, Mulyadi menyikapinya dengan ikhlas.
”Ya, namanya juga dari gunung, saya maklum saja, ha-ha-ha,” tutur Mulyadi.

Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Itulah yang mendorong mantan guru ini menyediakan rumahnya sebagai tempat pengungsian. ”Saya senang bisa berguna buat orang lain,” katanya.

Perasaan senasib juga sering kali mendorong sikap toleran dan kebutuhan untuk saling membantu. Di antara sesama pengungsi pun solidaritas menggema di mana-mana. Ketika diminta mengungsi, Narti (42), warga Dusun Kopeng, Desa Kepuhan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, sedang berada di ladang.
Oleh sebab itu, ia hanya sempat membawa sebuah selimut. ”Saat ngungsi, selimut satu kami pakai bersama,” katanya. Bahkan, para pengungsi di Gedung Koperasi Republik Indonesia, Kecamatan Borobodur, yang jumlahnya mencapai 150 orang ini, juga menggunakan sabun mandi secara bersama-sama.

Seorang perempuan bernama Jumini (30), yang mengungsi terpisah dengan suaminya, sering kali merasa terharu. Warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, ini berterima kasih kepada sesama pengungsi lantaran mereka setiap kali menyuapi Kiki (3), anaknya. ”Di pengungsian, Kiki jadi anak bagi banyak orang,” tutur Jumini sambil menyeka air matanya yang meleleh sampai pipinya.

Biskuit

Sikap berbagi juga ditunjukkan oleh para anak. Lihatlah Kuat (7), bocah pengungsi asal Dukuh Gowoksabrang, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kuat yang sedang ditampung di tempat pengungsian sementara Palbapang, Muntilan, bersama Eni (45), ibunya, tiba-tiba membagi biskuit kepada seorang anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya.

”Baru kali ini dia mau memberikan jajan miliknya kepada orang lain. Kuat biasanya selalu menyimpan makanannya sendiri,” tutur Eni.

Di tempat pengungsian sementara di Pabrik Kertas Blabak, Magelang, Sani (45) membagikan puluhan ikat kedelai kepada beberapa pengungsi. Kedelai rebus itu berasal dari ladangnya sendiri di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, kira-kira 13 kilometer dari tempat pengungsian. Sani bersama beberapa orang sengaja kembali ke desanya untuk memanen kedelai yang kemudian ia bagi kepada sesama pengungsi.

”Kami baru kenal di pengungsian. Karena banyak yang tidak kebagian jatah makan, saya kembali ke desa untuk memanen kedelai,” kata Sani. Ia tahu, kembali ke desa berarti menempuh risiko karena Desa Kapuhan termasuk dalam zona berbahaya.

Kampus


Solidaritas juga terlihat demikian kuat di kalangan kampus. Saat Merapi meletus pada Jumat (5/11/2010) dini hari, beberapa universitas di Yogyakarta meliburkan perkuliahan dan menyerukan kepada mahasiswa mereka untuk menjadi relawan. Selain itu, beberapa universitas menyiapkan kampus mereka sebagai tempat penampungan para pengungsi.

Di Gelanggang Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kini ditampung tak kurang dari 590 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, DI Yogyakarta. Saat mendapat instruksi untuk menampung para pengungsi, para mahasiswa bahu-membahu menyiapkan ruangan.
”Kami khusus mencari warga Hargobinangun agar mereka bisa berkumpul bersama keluarganya,” tutur Humas Posko Merapi UNY Akhmada Khasby Ash Shidiqy (22). Akhmad bergabung bersama 300 mahasiswa UNY menjadi relawan membantu para pengungsi.

Universitas yang juga spontan menyediakan ruangan kampus mereka untuk menampung pengungsi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di rumah warga, kampus, dan berbagai tempat penampungan lain, para pengungsi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini harus hidup bersama.

Merangkul manusia

Kebersamaan itu membutuhkan toleransi dan membuang jauh-jauh egoisme. Melihat spontanitas dan ketulusan warga, rohaniwan Romo Kirjito mengatakan, Merapi sedang merangkul manusia. Erupsi gunung teraktif di Jawa itu telah menggerakkan manusia untuk memerhatikan sesama.

”Dalam peristiwa itulah rasa kemanusiaan mengalahkan segala-galanya. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan ini,” ujar Romo Kirjito.

Masalahnya memang sering kali perasaan solidaritas sosial itu baru tumbuh dan membesar di saat-saat krisis. Tetapi, rasa itu tumbuh secara sporadis, tidak diorganisasikan secara masif sehingga menjadi modal kebersamaan yang besar. Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih. (GAL/HEN/EGI/WHO/ ENY/IRE/BSW/CAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar